JAKARTA- Koalisi partai politik di Indonesia disinyalir penuh dengan kompromi. Seperti koalisi, Indonesia Raya yang digawangi Gerindra dituding hanya terbentuk dari sebuah pertukaran kompromi ide dan sebatas pembagian kekuasaan.
“Jalan yang membuat mereka bertemu tentu saja karena ada kompromi ide dan pembagian kekuasaan. Di sinilah salah satunya indikasi mengapa kepemimpinan salah satu calon presiden disebut berwatak kompromistik," terang pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti, Kamis (29/5/2014).
Lazimnya dalam koalisi besar, lanjut Ray, yang terjadi adalah kompromi. Lebih-lebih jika di dalam koalisi itu banyak partai dengan sikap yang awalnya berbeda-beda. PKS dan Golkar misalnya, lebih dikenal sebagai partai yang lebih ramah pada pasar bebas.
Sementara, Gerindra selalu menyatakan pembatasan impor. Sedangkan PAN adalah motor amandemen Undang-Undang Dasar, sementara Gerindra justru terkesan tak seliberal PAN dalam amandemen.
“Pilihan mengajak koalisi besar parpol menjanjikan banyak jabatan kepada elit-elit parpol yang terkadang tak memiliki dasar pijakan, belum lagi sikapnya yang berubah-ubah jika menghadapi pertanyaan kritis, misalnya soal nasionalisasi aset-aset," papar Ray.
Ray menjelaskan, sikap kompromistik berbeda dengan sikap tegas. Contohnya, sikap tak kenal kompromi jika menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil bagi dirinya dan dalam kasus yang lebih besar adalah bagi bangsanya. Lalu, ada kesan tak pernah ragu dalam mengambil keputusan dan siap menanggung resiko dari pilihan-pilihan politik.
(Stefanus Yugo Hindarto)