KARANGANYAR - Kabut tebal secara perlahaan mulai turun dari lereng Gunung Lawu. Perlahaan namun pasti, kabut itupun menyelimuti semua yang ada di bawahnya. Termasuk salah satunya Candi Cetho. Candi yang berada di ketinggian 1.470 meter di atas permukaan laut itupun mulai tak terlihat lagi.
Tak lama setelah kabut turun, dari pelataran candi para pengunjung mulai berjalan keluar dari dalam candi. Mereka seakan tidak mau terjebak di dalam kabut yang menyelimuti sekitar kompleks candi yang juga masih satu rangkaian dengan candi kecil di sekitar Cetho yaitu Candi Kethek yang terletak 300 meter di samping candi utama.
Tak heran banyak pengunjung yang begitu menyukai berwisata ke Candi Cetho. Pasalnya, bila cuaca terang pengunjung pun bisa dengan jelas dua gunung besar lainnya, yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu. Tak hanya itu saja, dari Candi Cetho pun bisa terlihat jelas kota-kota di bawahnya, termasuk Kota Solo.
Namun, bagi para pendaki, jalur Candi Cetho ini merupakan jalur yang paling ditakuti alias angker. Pasalnya, meski untuk menuju puncak Gunung Lawu, melalui Candi Cetho ini merupakan jalur paling cepat dibandingkan bila melalui dua jalur saat ini yaitu jalur Cemoro Sewu atau Cemoro Kandang.
Rifan Feirnandhi, salah satu pendaki mengatakan, secara jalur pendakian, jalur menuju puncak Gunung Lawu melalui jalur Candi Cetho merupakan jalur perlintasan yang paling berbahaya. Sebab, begitu pendaki mulai melakukan pendakian ke puncak Gunung Lawu, mereka sudah dihadapkan dengan tanjakan terjal serta jurang yang cukup curam.
"Jalur ini tanjakannya cukup terjal. Begitu memutuskan mendaki melalui jalur ini, sudah dihadapkan dengan medan yang sangat terjal. Bila lengah sedikit saja, bisa terjatuh kedalam jurang," jelas Rifan saat berbincang dengan Okezone belum lama ini.
Tak hanya medan yang sulit, jalur pendakian melalui Candi Cetho ini paling sering terkena kabut. Pasalnya, dibanding kedua jalur yang sering dilalui para pendaki, jalur Candi Cetho ini lebih didominasi cekungan-cekungan. Bila baru pertama kali mendaki melalui jalur ini, sudah dipastikan pendaki tersebut akan tersesat.
"Tapi sebenarnya jalur Cetho ini kalau diibaratkan kita bertamu ke rumah orang, kita masuk dari arah halaman depan. Tapi kalau kedua jalur yang biasa dilalui, kalau diibaratkan rumah itu bagian belakang," ungkapnya.
Selain memiliki medan yang sangat sulit, jalur pendakian Gunung Lawu melalui Candi Cetho ini, banyak dipercaya sebagai jalur perlintasan ke alam gaib. Tak heran bila melalui jalur ini, para pendaki sudah dihadapkan dengan hal-hal aneh.
Termasuk para pendaki akan melalui sebuah lokasi di lereng Gunung Lawu yang diyakini merupakan keberadaan dari 'pasar setan'. Bagi yang sering mendaki ke puncak Gunung Lawu, ungkap Rifan, tentu sudah tak asing mendengar nama pasar setan.
Di mana konon di tempat itu sering terdengar suara bising layaknya sebuah pasar. Terkadang, para pendaki itu sendiri akan mendengar suara yang seakan menawari untuk berbelanja. Konon bila mendengar suara tersebut, para pendaki harus membuang apa saja di lokasi tersebut layaknya transaksi jual beli di pasar.
"Sebenarnya yang disebut para pendaki itu sebagai pasar setan, sebenarnya itu sebuah lahan di lereng Gunung Lawu yang penuh dengan ilalang dan angin yang berhembus di sana cukup kencang. Jadi akibat tiupan angin, menimbulkan suara-suara seperti orang bertransaksi," terangnya.
Namun Rifan mengakui kalau Gunung Lawu itu berbeda dari Gunung lainnya. Selain memiliki suhu sangat dingin bila musim panas, dibandingkan gunung lainnya. Hanya satu-satunya gunung di mana di puncaknya terdapat sebuah warung.

Anehnya, meski berada di puncak Gunung Lawu, warung Mbok Yem ini terdapat saluran telefon kabel. Tak hanya itu saja, ungkap Rifan, di warung Mbok Yem yang berada di Argo Dalem ini, para pendaki yang beristirahaat, bisa melihat televisi dengan jelas. Karena di warung Mbok Yem ini terdapat saluran listriknya.
"Kalau dipikir aneh. Masak di puncak gunung ada sambungan telefon terus ada listrik di warung Mbok Yem. Tapi memang itu faktanya. Dan hanya di Gunung Lawu sajalah setiap suro, banyak warung berdiri di sepanjang jalur pendakian," tutupnya.
(Rizka Diputra)