Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tambang Pasir Ilegal Merapi Sudah Ada Sejak 1980

Prabowo , Jurnalis-Rabu, 18 Februari 2015 |10:54 WIB
Tambang Pasir Ilegal Merapi Sudah Ada Sejak 1980
Tambang pasir ilegal di Merapi sudah ada sejak tahun 1980 (Foto: Danang Prabowo/Okezone)
A
A
A

SLEMAN - Penambangan material berupa pasir dan bebatuan di Kali Gendol, Lereng Gunung Merapi, sudah ada sejak lama. Penambangan yang masuk kategori galian C itu dilakukan masyarakat tanpa mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Sleman.

Kepala Desa Kepoharjo, Heri Suprapto, menyampaikan bahwa pengambilan sirtu (pasir dan batu) sudah ada sejak 1980-an. Sebelum masa tersebut juga sudah ada, tapi tak begitu banyak yang melakukan penambangan material.

“Pengerukan sirtu di Kali Gendol itu sudah ada sejak 1980-an. Tahun 2004 meletus, material makin banyak, belum habis, meletus lagi kemarin 2010,” kata Heri Suprapto saat ditemui Okezone di Kantor Balai Desa Kepoharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Selasa 17 Februari.

 

Erupsi pada 2010, kata Heri, material Merapi seperti batu besar dan pasir tak hanya menutup kedalaman jurang aliran Kali Gendol, tetapi meluas hingga lahan, pekarangan, rumah serta kebun milik penduduk setempat. Masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor pertanian dan peternakan menjadi lumpuh total karena lahan dan tempat tinggal mereka rata tertutup material Merapi.

“Saat darurat Merapi pada 2010, Bupati Sleman (Sri Purnomo) mengeluarkan rekomendasi pengerukan material Merapi sebagai upaya normalisasi lahan,” paparnya.

Terdapat empat Desa, mulai Kepoharjo, Glagaharjo, Argomulyo, dan Wukirsari yang direkomendasikan untuk diambil material Merapi. Seiring berjalan waktu, tiga desa kecuali Kepoharjo (aliran Kali Gendol) di beberapa pedukuhan sudah selesai normalisasi sehingga rekomendasi penambangan yang masuk galian C tersebut dicabut pemerintah.

“Itu yang aliran sungai, kalau lahan dan permukiman warga masih tertutup material. Makanya, penambangan dilakukan oleh warga atas kesepakatan bersama,” imbuhnya.

Heri menyampaikan ada larangan dari pemerintah pusat diteruskan Pemda DIY hingga tataran kelurahan/desa untuk menempati zona bahaya, yakni radius 15 kilometer dari puncak Merapi sebagai tempat tinggal atau hunian tetap. Sehingga, masyarakat yang sebelumnya tinggal di zona larangan karena di lereng Merapi tidak lagi menempati lahan mereka sebagai tempat tinggal, pascaerupsi 2010.

Solusinya, Pemkab Sleman membuatkan tempat tinggal di beberapa hunian tetap (huntap) yang berada di luar zona bahaya. Kini, warga yang sebelumnya tinggal di zona bahaya lereng Merapi sudah tak ada lagi. Masalahnya, aset tanah milik warga yang terkena erupsi ini masih menjadi tarik ulur pemerintah dan pemilik lahan.

Pemilik lahan tetap mengunakan tanah-tanah mereka meski hanya ditanam rumput gajah sebagai pakan ternak. Mereka juga tidak sedikit yang mengeruk material untuk dijual.

(Carolina Christina)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement