ISU terorisme seolah tak pernah habis merongrong dan mengancam setiap individu Warga Negara Indonesia (WNI). Mulai dari jaringan Darul Islam (DI) hingga al Qaeda dan yang terbaru – ISIS.
Tapi dari semua ancaman teroris, hanya kelompok “Komando Jihad” yang berani membuat teror dengan membajak sebuah pesawat komersial milik negara, Garuda Indonesia. Ya, hari ini, 28 Maret 34 tahun yang lalu, terjadi pembajakan pertama oleh teroris yang harus dihadapi Indonesia. Sebuah situasi yang juga dikenal sebagai “Peristiwa Woyla”
Lima pembajak dari kelompok Komando Jihad itu sebelumnya menyamar sebagai penumpang, untuk kemudian membajak pesawat dan memaksa pilot dan kopilot menerbangkan pesawat berjenis Douglas DC-9 “Woyla” dengan nomor penerbangan 206 itu keluar wilayah Indonesia.
Pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Medan (transit Palembang) itu sempat lebih dulu “hinggap” di Penang, Malaysia, untuk mengisi bahan bakar. Kemudian pesawat baru kembali mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand.
Pimpinan teroris, Imran bin Muhammad Zein, menyampaikan empat tuntutan pada pemerintah Indonesia. Tuntutan pertama adalah pembebasan 80 anggota Komando Jihad yang ditangkap pasca-Peristiwa Cicendo (11 Maret ’81), yang kedua meminta uang USD1,5 juta, yang ketiga meminta warga negara Israel diusir dari Indonesia dan yang terakhir menuntut pencopotan Wakil Presiden Adam Malik.
Kabar itu segera diterima pemerintah Indonesia yang langsung menerjunkan 30 anggota Grup-1 Para Komando Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha – sekarang Kopassus), pimpinan Kapusintelstrat, (alm) Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani dan Asisten Operasi, Letkol (Inf) Sintong Hamonangan Pandjaitan, serta dibantu sejumlah Pasukan Khusus Angkatan Udara Thailand.
Kopassandha hanya diberi waktu singkat untuk mereka-reka strategi. Dalam latihannya, mereka meminjam pesawat dengan jenis yang sama, Douglas DC-9 untuk bisa menguasai situasi.
Singkat kata sesudah diberangkatkan dan briefing terakhir di pos khusus dekat Bandara Dong Mueang, para anggota Grup-1 Para Komando (cikal-bakal Detasemen Khusus 81 Penanggulangan Teror/Sat-81 Gultor) tak sampai membutuhkan waktu 10 menit untuk membekuk lima pelaku teroris.
Operasi pada 31 Maret ’81 berjalan sempurna tanpa menimbulkan korban jiwa di pihak awak pesawat maupun penumpang. Drama penyanderaan selama empat hari tiga malam atau sekira 65 jam pun berakhir.
Catatan korban, anggota Para Komando, Pembantu Letnan Achmad Kirang serta Kapten Pilot Herman Rante, serta satu penumpang asal Amerika Serikat bernama Schneider yang mencoba kabur sebelum operasi bergulir.
Imran, pimpinan teroris yang masih selamat dalam pembebasan sandera itu, dibawa kembali ke Indonesia untuk kemudian dihukum mati.
(Randy Wirayudha)