Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Otista, Si Jalak Harupat Pengidola Douwes Dekker

Randy Wirayudha , Jurnalis-Selasa, 31 Maret 2015 |06:20 WIB
Otista, Si Jalak Harupat Pengidola Douwes Dekker
Otista yang juga diabadikan dalam lembar uang pecahan 20 ribu rupiah
A
A
A

BISA dibilang keterlaluan buat orang-orang yang sampai sekarang tak mengenal, siapa itu Otto Iskandardinata (Otista). Pasalnya wajah pahlawan nasional ini pastinya sering ada di dompet kita, tepatnya melekat di lembaran pecahan uang Rp20 ribu.

Memang peran Otista tak se-heroik Panglima Besar Jenderal Soedirman, Jenderal Achmad Jani atau para pejuang lainnya yang berniat memerdekakan Indonesia lewat jalan perang. Otista lebih kepada perjuangan diplomatis dan persuasif, baik di saat pendudukan Jepang maupun Belanda (usai Perang Dunia II).

Mengenal Otista lebih dalam, hari ini tepat 31 Maret 118 tahun lalu, Raden Otto Iskandardinata lahir di Desa Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat. Otista lahir dari keluarga yang cukup berada, lantaran Ayahnya, Nataatmadja masih golongan bangsawan Sunda.

Dari situ pula Otista bisa mengenyam pendidikan dasar HIS (Hollandsch-Inilandsche School), bahkan sampai meneruskannya ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Tingkat Pertama), sampai ke Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Tingkat Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.

Sejak tingkat sekolah dasar, Otista bukan anak yang memanjakan diri atas kondisi ekonomi orang tuanya yang lebih dari cukup. Justru, Otista menumbuhkan jiwa pemberontak, berkat tingginya antusiasme pada tulisan-tulisan Ernest Douwes Dekker, yang kerap kali mengecam kebijakan pemerintah Hindia-Belanda.

Seringkali, Otista ‘sembunyi-sembunyi’ untuk bisa membaca tulisan idolanya itu di beberapa surat kabar, macam DE Expres. Pemikirannya untuk berontak demi bangsanya terus bergelora ketika mendapat satu kursi di “Gementeraad” (Dewan Kota) dan kemudian “Volksraad” (Dewan Rakyat – sekarang DPR).

Dari situ juga, Otista kemudian sering dijuluki pemerintah Hindia-Belanda sebagai “Si Jalak Harupat” yang artinya, ayam jago yang keras dan tajam menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang bila diadu.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942-45, Otista memimpin surat kabar “Tjahaja”, surat kabar yang kemudian diberangus Jepang, lantaran menyebarkan berita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Otista yang kemudian menikahi Soekirah, murid di sekolah HIS yang pernah diajarnya, sempat diikutkan ke dalam BPUPKI dan kemudian PPKI. Pekik “Merdeka” pun bisa dibilang Otista yang mempopulerkannya.

Setelah Republik Indonesia lahir, Otista dipercaya Presiden RI pertama, Soekarno untuk menduduki kursi Menteri Negara, sekaligus Otista membentuk institusi militer RI yang pertama, BKR – Badan Keamanan Rakyat, dari lascar-laskar rakyat yang ada di seantero nusantara.

Sejak Otista jadi menteri itulah dirinya sering mendapat ancaman nyata dari beberapa pihak yang tak sepakat dengan kebijakannya, baik soal berdirinya BKR atau pemikiran-pemikirannya terkait kedatangan sekutu ke Indonesia.

Ketika pergolakan sejumlah gerombolan laskar itu memuncak, Otista ikut jadi korban penculikan bersama beberapa pejabat lainnya. Otista diculik anggota “Laskar Hitam”, 10 Desember 1945 dan 10 hari kemudian dieksekusi di Pantai Mauk, Tangerang.

(Randy Wirayudha)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement