JAKARTA - Tekanan terhadap industri hasil tembakau (IHT), khususnya produk rokok belakangan ini semakin gencar dilakukan. Namun, perlawanan tetap tak kunjung surut, seperti yang datang dari Kudus, Jawa Tengah.
Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) akhir pekan lalu mengadakan Diskusi Publik bertajuk 'Kebijakan Tarif Cukai yang Rasional, Adil, dan Berorientasi National Interest'.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Azis yang juga menjadi pembicara dalam acara itu, menegaskan, bahwa kebijakan cukai yang diberlakukan pemerintah saat ini semakin meruntuhkan industri rokok.
“Data tahun 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900-an pabrik, sekarang tinggal 600-an pabrik,” ujarnya, Rabu (15/4/2015).
Sementara itu, Ketua Lembaga Penelitian UMK, Mamik Indaryani menambahkan, yang terjadi saat ini ialah ketidakpedulian pemerintah, bukan keseimbangan kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tercermin dari regulasi yang dihasilkan justru antitembakau.
Sementara, di sisi lain, kata dia, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua. Akibatnya, "Pabrik tutup karena kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun," sebut Mamik.
Menurutnya, kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan sangat tidak adil karena pastinya akan mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodir kepentingannya. Sejatinya kata dia, pemerintah berpikir untuk mendorong daya saing industri tembakau bukan memberangus dengan beragam regulasi.
"Industri hasil tembakau juga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, bahkan sebagai warisan turun temurun," tegasnya.
Hal senada disampaikan peneliti kretek dari Yayasan Indonesia Berdikari, Puthut EA. Menurutnya, tudingan rokok mengganggu kesehatan layak diperdebatkan. Selama ini, publik disuguhi opini adanya penelitian yang menyatakan rokok tidak sehat.
“Karena itu mari kita bikin riset rokok kretek, karena ini tidak pernah dilakukan,” serunya.

Kata Puthut, rokok kretek tidak perlu diberangus, tetapi justru harus diperjuangkan sebagai heritage bangsa Indonesia. Menurut dia, kebiasaan mencampur cengkeh dan tembakau itu sudah dilakukan masyarakat sejak abad ke-18.
“Pemerintah enggan memutuskan rokok kretek sebagai heritage karena dianggap kontroversial,” ungkapnya.
(Rizka Diputra)