MAKASSAR – Usia 17 tahun bagi anak yang beranjak remaja adalah masa yang penuh mimpi. Ingar-bingar keindahan masa muda kerap menggoda, sehingga tidak jarang banyak yang terjebak masuk ke mimpi-mimpi yang ternyata merugikan diri sendiri.
Tetapi berbeda dengan remaja imut bernama Rafida Zahiratun Ul Haq, siswi kelas XI IPS 3 di SMA Negeri 12, Antang, Makassar. Rafida mempunyai mimpi, tapi sementara ini hanya sukses dalam belajar dan tidak merepotkan orangtua.
Gadis berusia 17 tahun itu memilih memanfaatkan waktu menjajakan koran di tengah arus lalu lintas sepulang sekolah, ketimbang hura-hura layaknya muda-mudi seusianya.
Ditemui di sisi lampu lalu lintas yang memotong Jalan Veteran dan Jalan Masjid Raya, Makassar, Rafida bersedia bagi cerita sembari tetap menawarkan koran di tangannya ke para pengguna jalan yang melintas.
Ida –sapaan akrab remaja imut ini– merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan Muhammad Jihadul Arifin dan Singgrawati Umar. Menjajakan koran telah dilakoninya sejak masih duduk di bangku kelas III SD.
Aktivitas menjual koran ini dilakukan setiap pulang sekolah. Rumah dan sekolahnya jauh di wilayah Antang, Kecamatan Manggala, Makassar, sementara jual korannya di Jalan Veteran yang ada di jantung kota.
Sepulang sekolah, Ida langsung naik angkutan umum menuju kota, tanpa sempat mengganti pakaian di rumah. Itulah sebabnya, seragam putih abu-abu tetap dikenakan siswi hijaber ini saat menjual koran.
Sebanyak 20 eksemplar koran berada dalam pelukannya. Ida kemudian mulai menawarkan koran sembari mengayun satu koran. Dia menantang panasnya mentari, mulai pukul 13.00 hingga 17.30 Wita.
Jika matahari begitu terik, Ida melawannya dengan menutup sebagian wajahnya dengan ujung jilbab menyerupai cadar. Kadang ia juga berteduh di bawah pohon yang ada di dekat lampu lalu lintas.
Sekira lima jam berbaur dengan kendaraan, 20 eksemplar koran yang dijajakan rata-rata habis terjual. Satu eksemplar koran ada yang Rp5 ribu, ada juga Rp3 ribu. Setiap satu eksemplar, Ida dapat untung Rp1.000.
Dari hasil keringatnya ini, Ida bisa menutupi sendiri kebutuhan sekolah. Mulai pembelian lembar kegiatan siswa (LKS) di sekolah, ongkos transportasi, hingga uang jajan. Setiap ada kelebihan, Ida tabung hingga suatu hari bisa beli sendiri telefon seluler.
"Tapi, ponsel itu jarang saya gunakan menelefon. Saya mau telefon siapa dan untuk apa? Saya lebih banyak gunakan menerima telefon, termasuk terima telefon dari Mama yang mengontrol, apakah saya baik-baik saja di jalan,” tutur Ida.
“(Ponsel) baru aktif saya gunakan jika mau buka internet, buka Google kalau ada pelajaran yang saya tidak mengerti," tambahnya.
Dia mengaku tidak merasa minder sama sekali dengan pekerjaan jual koran. Mulai teman-teman hingga kepala sekolah tahu aktivitas jual korannya.
"Pak Jamal, kepala sekolah, kerap ingatkan, ‘Hati-hati di jalan dan jangan lupa pelajaran.’ Teman-teman kalau ketemu di jalan lebih sering tegur duluan," ujarnya.
Baginya, tidak ada alasan untuk minder karena yang dilakukannya halal. "Saya kan tidak mengemis. Buat apa minder?" jelas Ida.
Hidup mandiri bagi Ida dan saudara-saudaranya adalah hal biasa hasil didikan keras orangtuanya. Selain itu, pendidikan harus tetap jalan.
Bapaknya sendiri adalah agen iklan, sementara kakak keduanya, Rabbani juga adalah agen koran yang kiosnya ada di Jalan Masjid Raya, tidak jauh dari tempat Ida menjual koran.
Rabbani (19), kakak keduanya, kuliah di Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Hasanuddin.
Sementara Nurul (21), kakak sulungnya, juga di fakultas yang sama di Kampus Unhas tetapi jurusan yang berbeda. Adik-adik Ida juga masih sekolah di SMA, SMP, dan SD. Hanya si bungsu, Rafahul Insan Nasuha (1), yang belum sekolah.
"Bapak selalu tekankan hidup mandiri tapi sekolah tetap yang utama," kata Ida mengakhiri kisahnya dan berlalu kembali menawarkan koran.
(Randy Wirayudha)