JAKARTA – Tim jaksa eksekutor terkadang banting tulang untuk memenuhi permintaan terakhir terpidana mati. Contohnya seperti Andrew Chan yang sempat minta dinikahkan sebelum dieksekusi mati.
Begitupun dengan beberapa terpidana lainnya, seperti minta dikuburkan di Indonesia dan organnya didonorkan. Permintaan lainnya terbilang lazim, seperti minta bertemu dengan keluarga atau orangtua.
Namun, para jaksa eksekutor seringkali sulit untuk menemukan alamat orangtua para terpidana mati yang sudah berpindah-pindah. Mereka pun sebisa mungkin memenuhi permintaan terakhir terpidana mati.
Seorang mantan jaksa eksekutor berinisal S, bercerita kepada Okezone tentang pengalamannya saat menjadi tim eksekutor hukuman mati di Jambi.
"Di dalam undang-undang, seorang terpidana mati diizinkan untuk meminta permohonan terakhirnya, kalau logis ya kita turuti, kasihan kalau enggak dituruti," beber S.
"Soal permohonan terakhir ini, telah diatur dalam pasal 6 UU Nomor 2 PNPS Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Rata-rata mintanya bertemu keluarga, terutama orangtua. Jarang yang minta makanan,” canda S.
Setelah mengetahui permintaan terakhir itu, dirinyalah selaku tim jaksa eksekutor yang mengurus permintaan itu. Mencari orangtua atau keluarga dari para terpidana mati, menurut S tidak semudah yang diperkirakan.
Apalagi, ketika harus mencari alamat keluarga terpidana mati yang tidak sesuai dengan data maupun alamat yang diberikan terpidana mati. Banyak dari keluarga terpidana mati yang telah berpindah-pindah alamatnya.
Hal itulah yang pernah dialami rekan S yang juga menjadi eksekutor hukuman mati. Diceritakan S, saat itu temannya harus mencari alamat orangtua dari seorang terpidana mati yang tidak lama lagi akan menjalani eksekusinya.
Karena sulit untuk mencari alamat orangtua terpidana mati itu, menyebabkan tanggal eksekusi yang telah disepakati dengan pihak kepolisian menjadi mundur.
Sementara, S saat itu diminta untuk memenuhi permintaan terakhir terpidana mati Turmudi sebelum dieksekusi, yaitu bertemu keluarganya yang di ada di Jawa.
“Kalau saya waktu di Jambi dulu, terpidananya minta bertemu orangtuanya. Sempat kesulitan karena alamatnya beda, tapi akhirnya ketemu juga, lupa saya di daerah mana pas itu, untung ketemu, kalau tidak, kasihan kalau tidak dituruti,” ungkapnya.
Setelah berhasil ditemukan, orangtua ataupun keluarga terpidana mati itu akan dibawa ke penjara untuk ditemui dengan anaknya yang tak akan lama lagi menemui ajalnya.
Menurut S, membawa orangtua terpidana mati ke penjara dinilai lebih aman ketimbang harus membawa keluar terpidana mati. Hal itu untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan.
“Kalau terpidananya dibawa keluar berisiko sekali, takutnya di jalan kenapa-kenapa, jadi orangtuanya kita jemput dan kita datangkan ke ruang tahanan,” kata S.
S menuturkan, tak jarang para jaksa eksekutor menolak untuk memenuhi permintaan terpidana mati. Seringkali dari mereka yang meminta untuk berdoa beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi.
Hal itulah yang dialami S, saat akan mengeksekusi, Turmudi bin Kasturi, terpidana mati kasus pembunuhan empat orang di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Provinsi Jambi.
Saat itu Turmudi meminta waktu untuk melaksanakan shalat tahajud atau shalat taubat pada tengah malam. Padahal pada tengah malam itu harus sudah siap berada di tempat eksekusi.
“Bukannya enggak boleh, tapi kalau dia minta shalat pukul 12 malam atau tengah malam, sementara waktu untuk eksekusi juga pukul 12, kan sangat tidak mungkin bagi kita untuk memundurkan waktu pelaksanaan eksekusi mati, kami pun minta agar ibadah dilakukan minimal satu atau dua jam sebelum eksekusi,” ceritanya.
S dan anggota tim jaksa eksekutor lainnya akhirnya meminta sang terpidana mati itu untuk solat lebih awal sehingga tidak mengganggu pelaksanaan eksekusi yang sudah terjadwal.
Untuk diketahui, Turmudi bin Kasturi adalah terpidana mati kasus pembunuhan empat orang di Kabupaten Tanjabba, Provinsi Jambi. Eksekusi mati terhadap Turmudi itu merupakan pertama kalinya yang dilakukan di Provinsi Jambi. Turmudi dipidana mati karena terbukti membunuh empat korban dalam satu keluarga.
(Randy Wirayudha)