YOGYAKARTA - Melihat banyaknya opini dan spekulasi terkait sabda raja Sri Sultan Hamengku Buwono X, pengurus Paguyuban Dukuh Gunungkidul meminta masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta tenang dan menunggu penyelesaian internal keraton.
"Internal keraton kan sudah ada paugeran (peraturan), dan biarkan diselesaikan internal. Orang luar tidak usah ikut campur terkait polemik ini," kata Dewan Pembina Paguyuban Dukuh Gunungkidul, Sutiyono, saat dihubungi, Kamis (7/5/2015).
Menurut dia, jika masyarakat ikut terlibat dalam polemik di keraton, maka masyarakat akan terpecah. Bila hal itu terjadi, semua pihak akan merugi. "Jangan sampai masyarakat yang terpecah belah," ucap salah satu pejuang keistimewaan Yogyakarta ini.
Sutiyono mengambil contoh kisruh Puro Pakualaman beberapa waktu. Kisruh itu tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat, dan harusnya kondisi serupa tanpa perpecahan terjadi saat ini.
"Kalau kita cermati kejadian ini mirip dengan yang terjadi di Pakualaman. Harusnya itu menjadi contoh bagi masyarakat Yogyakarta agar tetap tenang dan tidak memihak," imbaunya.
Dia berharap, Ngarso Dalem dan Sentono Dalem (Sultan dan keluarga Kraton), bisa menyelesaikan polemik dengan pikiran jernih mengacu pada paugeran keraton. Jangan sampai, polemik yang ada membuat pemerintah pusat memberi penilaian negatif.
"Jangan sampai pusat menilai setelah dikasih danais (dana keistimewaan) kok kisruh, semoga ada jalan terbaik," harapnya.
Seperti diketahui, Sultan Hamengku Buwono X dua kali mengeluarkan sabda raja pada 30 April dan 5 Mei 2015. Isi sabda raja tersebut, di antaranya Sultan mengganti nama gelarnya, serta mengangkat putri sulungnya GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, yang mengindikasi menjadi penerus takhta.
Namun sabda raja itu tidak diterima oleh sejumlah adik laki-laki Sultan. Bahkan menurut mereka, sejak 30 April 2015, Keraton Yogyakarta tidak punya raja, sebab Sultan Hamengku Buwono telah keluar dari aturan keraton karena isi sabdanya.
(Risna Nur Rahayu)