JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali tidak setuju dengan penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang kinerja hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) ‘loyo’ dalam menjatuhkan vonis kasus korupsi.
"Saya kira tidak demikian, saya ikuti fluktuasi tindak pidana di MA, tidak semuanya benar bahkan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali di tingkat MA justru dinaikkan," kata Hatta dalam jumpa pers pelucuran kompetisi inovasi pelayanan publik peradilan 2015 di Gedung MA, Rabu (19/8/2015).
Hatta mengatakan, dirinya telah meminta kepada seluruh hakim khususnya tipikor jangan larut dengan opini publik dan mengikuti sisi emosional dalam menjatuhkan vonis.
“Pemidanaan harus dilihat dari aspek yuridis dan sosiologisnya,” ujarnya.
Hatta mengakui, pernah ditanyai mengenai hakim yang memberikan vonis ringan dalam sebuah pidana korupsi yakni satu tahun hukuman. Namun setelah pihaknya menelusuri, putusan hakim tersebut sudah cukup adil.
"Setelah saya dapatkan fakta di putusan, ternyata korupsi tidak lebih dari Rp15 juta. Seandainya korupsi Rp15 juta apakah adil dijatuhkan penjara empat tahun? Tentu hati nurani bicara bahwa menimbulkan ketidakadilan. Sehingga dikenakan Pasal 3 (UU Tipikor) dengan ancaman pidana satu tahun bukan Pasal 2 (UU Tipikor) minimal empat tahun," terang Hatta.
Hatta mengatakan, tidak pernah meminta terdakwa dihukum berat atau seringan-ringannya, namun harus dilihat kesalahan terdakwa sesuai dengan besar tidaknya kesalahan.
"Hakim bukan algojo atau robot yang menjatuhkan pidana dengan pasal, tapi hakim saya kira punya hati nurani. Ukur layak tidaknya. Jadi kecendrungan menurun kalau kasusnya seperti yang saya sampaikan tadi (pidana korupsi satu tahun). Tapi pantauan saya, pemidanaan sudah layak dan sesuai dengan kerugian negara," pungkas Hatta.
(Fransiskus Dasa Saputra)