Rapat sembilan orang itu berlangsung di Markas Ansor di Jalan Semeru, Kota Blitar. Yakni suatu bangunan yang awalnya rumah milik seorang keturunan Tionghoa.
Usulan nama Banser datang dari Kayubi. Ia menafsirkan ejawantah dari multi fungsi, banyak guna, serba guna. Karenanya, Kayubi langsung didaulat sebagai Ketua.
Di luar Ansor Banser, Kayubi bekerja di Badan Pekerja Harian (BPH) NU yang ditugaskan di pemerintahan dan legislatif.
Saat itu Ansor dan Banser Blitar sudah bertekad bulat memerangi PKI. Di satu sisi PKI gencar-gencarnya meneriakkan pengganyangan tujuh setan desa.
Para tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat, dicap sebagai lawan yang harus diperangi.
Menurut Chudlori situasi akar rumput di Blitar sebelum dan sesudah G 30 S PKI sudah memanas. Massa Ansor dan pengikut PKI, terutama BTI dan Pemuda Rakyat saling curiga.
Di beberapa tempat, di antaranya wilayah Kecamatan Gandusari, Ansor-PKI nyaris bentrok fisik. Pemicunya adalah aksi sepihak PKI.
Memang, pasca-dilarangnya Masyumi dan terbelahnya PNI, NU dan PKI terkerek menjadi dua besar pemenang Pemilu 1955.
"Banyak warga NU pemilik tanah yang merasa resah dengan aksi sepihak orang-orang PKI, " kenang Chudlori.
Tepat hari ke-14 (14 Oktober 1965) pasca-pembunuhan para Jenderal, instruksi rahasia itu datang.
Perintah yang membonceng kabar penculikan Jenderal itu muncul dalam sebuah rembug (rapat) khusus pimpinan Ansor. Rapat yang merumuskan perlawanan terhadap aksi sepihak orang orang PKI.
Chudlori ada di sana. Karena dia memang termasuk salah satu pimpinan. Ia masih ingat perintah itu diutarakan secara lisan.