JAKARTA - Pemerintah diminta mengevaluasi tingginya harga gas di berbagai daerah untuk industri agar dapat bersaing dengan kompetitor dari mancanegara.
Koordinator Gas Industri Kadin Indonesia, Achmad Widjaya, menyarankan, pemerintah sejatinya mengevaluasi harga gas yang saat ini terlampau mahal.
"Kalau harga di hulu saja sudah bisa diturunkan, mengapa di hilir tidak? Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan kajian agar harga bisa turun. Margin pemilik pipa juga harus dievaluasi," kata Widjaya, Selasa (6/10/2015).
Harga gas untuk industri yang mencapai USD9-10 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU) kata dia, tentu membuat industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan kompetitor.
"Bagi kami, industri pengguna gas kondisi ini ibaratnya, 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Di saat dolar terus naik, kami masih harus membayar mahal gas," katanya.
Widjaya pun menyesalkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk yang mengambil margin rata-rata USD4 per MMBTU atau di atas 40 persen. Margin tersebut, lanjutnya, jauh lebih besar daripada aturan toll fee yang ditetapkan oleh BPH Migas.
"PGN harusnya mengambil margin yang wajar, yakni gross profit 30 persen. Mengapa mereka mereka mematok begitu tinggi? Mengapa mereka tidak menjalankan aturan yang sudah ada?" keluhnya.
Dia berharap, harga gas bisa diturunkan menjadi sekitar USD6 per MMBTU, termasuk toll fee. Dengan harga sebesar itu, meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, namun industri masih bisa bersaing dan menjalankan roda bisnisnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan energi IRESS, Marwan Batubara berpendapat, sistem open access bisa menjadi pilihan yang tepat dalam distribusi gas dalam negeri.
Terutama, jika keberadaan para trader kertas bisa diatasi. Dalam hal ini, pemilik pipa bisa menyewakan pipa-pipa kepada BUMN lain untuk kemudian saling bersinergi.
"Pemerintah bisa mengatur sehingga sesama BUMN saling mendukung," ujar Marwan.
(Rizka Diputra)