AMSTERDAM – Revolusi kemerdekaan memang sudah usai beberapa dekade lalu. Indonesia dan Belanda yang berseteru pun sudah berdamai. Pun begitu sisa-sisa menyakitkan masa revolusi (1945-1949) yang dialami para korban takkan pernah lekang.
Seperti yang saat ini masih dialami Abubakar Malik.Pria berusia 72 tahun asal Sulawesi Selatan (Sulsel) ini menggugat atas perlakuan tentara Belanda terhadap ayahnya, Kapten Andi Abubakar Lambogo yang terbilang sadis pada 1947 silam.
Di era itu, pasukan Belanda dari satuan KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger) atau Pasukan Kerajaan Hindia-Belanda dari elemen Depot Speciale Troepen (DST), didatangkan ke Sulawesi, untuk melakoni aksi polisionil.
Pasukan berjumlah sekira 600 personel itu, dikomando perwira Belanda yang takkan pernah dilupakan namanya oleh publik Indonesia hingga kini – Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.
Dalam suatu ketika, tepatnya pada 13 Maret 1947 di Desa Salu Wajo, kelompok gerilyawan Batalion I pimpinan Kapten Abubakar Lambogo disergap pasukan DST dan terjadi baku tembak sampai melukai paha sang kapten.
Dalam pertempuran yang tak seimbang itu, Kapten Abubakar dan beberapa anak buahnya tertangkap. Meski ditawan, tapi ajal sang kapten sudah dekat lantaran tak lama kemudian, kepalanya dipenggal.
Tidak hanya itu, tindakan sadis pasukan Belanda diteruskan dengan menancapkan kepala Kapten Abubakar ke bayonet dan dibawa ke sebuah pasar di Enrekang. Di pasar itu, para tawanan lain diperintahkan mencium kepala sang kapten.
Kepalanya juga kemudian digantung dengan tali di sebuah tiang selama dua hari dan satu malam, untuk dijadikan contoh, sekaligus bertujuan menjatuhkan mental para gerilyawan lain.
Kisah ini diangkat oleh peneliti dan fotografer independen, Marjolein van Pagee dan Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Jeffry Pondaag, serta sejarawan Tinneke Bennema ke surat kabar Belanda, NRC Handeslblad pada Sabtu, 21 Mei 2016 lalu.
“Tubuhnya (Kapten Abubakar) ditinggal di tengah jalan di Salu Wajo. (Komandan Belanda) mengenakan seragam dan berkulit putih,” tutur pengakuan salah satu sakti mata, Puang Kuneng (87) di media NRC, dari korespondensi dengan Jeffry Pondaag via surat elektronik (surel).
Setelah kembali diteliti, komandan Belanda yang juga kompatriot Westerling dan bertanggung jawab di Distrik Enrekang kala itu, adalah Kapten Gerardus August Blume. Di Indonesia, namanya lebih sering dikenal dengan sebutan Bloumen atan Bloemen.
Setelah dua hari satu malam kepalanya digantung di tengah pasar, keluarga Kapten Abubakar baru diperbolehkan mengambil jasad dan potongan kepala sang kapten, untuk kemudian dikuburkan. Tapi tak lama kemudian, rumah keluarga Kapten Abubakar dibakar pasukan Belanda.
Istri mendiang Kapten Abubakar dan empat anaknya pun berusaha memprotes aksi ini ke kantor Kapten Blume di Enrekang. Tapi protes itu tak didengarkan dan malah, istri mendiang Kapten Abubakar dijebloskan ke bui selama beberapa hari.
“Kami semua sangat sedih dan marah. Tapi apa yang bisa kami perbuat terhadap tentara Belanda?,” Malik, putra Kapten Abubakar mengisahkan lewat surel yang dikirimkan cucu sang kapten, Ricky Malik (55).
Blume sendiri setelah perang, bisa hidup “dengan tenang” di Belanda dan tutup usia di Den Haag, pada 1972 dengan bergelimang dua medali kehormatan, “Bronzen Kruis”.
Sementara mendiang Kapten Abubakar Lambogo, setidaknya diakui Presiden RI pertama, Soekarno yang memberi Kapten Abubakar gelar “Pahlawan Nasional” pada 1958. Pun demikian, putra sang kapten tetap menggugat dan menuntut permintaan maaf Belanda.
“Saya ingin mereka (pemerintah Belanda) mengakui bertanggung jawab atas aksi-aksi ini, di mana hal itu dilakukan di periode kolonial dan sangat berlawanan dengan Konvensi Jenewa,” cetus Abubakar Malik.
“Jika kakek saya sebagai tahanan diperlakukan secara manusiawi, mungkin dia akan masih hidup. Dia masih akan bertugas di ketentaraan, dia masih akan dihormati di Enrekang dan mungkin bisa berkontribusi lebih kepada negara ini,” timpal Ricky Malik.
(Randy Wirayudha)