SERANG – Hampir tiap kali ada razia pengemis maka Kampung Kebanyakan, Desa Sukawan, Kota Serang, Banten, selalu jadi sorotan. Maklum, orang-orang yang terjaring razia memang mayoritas mengaku dari sana.
Kampung Kebanyakan salah satu sudut buram Serang. Letaknya hanya 7 kilometer dari pusat kota. Karena banyaknya warga yang jadi peminta-minta, maka Kebanyakan pun dijuluki sebagai kampung pengemis.
Serang, Ibu Kota Provinsi Banten baru Sembilan tahun berpisah dengan Kabupaten Serang. Kota seluas 266,77 kilometer persegi itu kini dipimpin Haerul Jaman, adik tiri mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dipenjara karena korupsi.
Serang berpenduduk 618.802 jiwa. Dari jumlah itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tahun ini ada 136 orang pengemis. Anak telantar 832 orang dan 17.121 jiwa fakir miskin/keluarga miskin.
Kampung Kebanyakan penyumbang pengemis terbanyak. Hampir setiap kali Satpol PP merazia, maka pengemis yang tertangkap selalu dari kampung itu.
"Pertama kali ada (pengemis) ketika tahun 2000, awalnya ada orang luar (kampung) yang mengajak, ternyata penghasilannya lumayan buat makan sehari-hari. Waktu itu cuma satu-dua orang. Tapi yang lebih banyak pas tahun 2010 ke sini," tutur Muklas, Ketua RT setempat beberapa waktu lalu.
Melihat pundi rupiah yang didapat lumayan, warga lain pun ngiler. Hingga kini tercatat 27 orang di Kebanyakan sudah menjadikan pengemis sebagai pekerjaan tetap. Semuanya perempuan paruh baya, ada janda, sebagian lagi bersuami tukang ojek, buruh bangunan, tani, dan lainnya.
Menurut Muklas, karena tak memiliki penghasilan memadai maka mereka pun rela keliling berjalan kaki mengais belas kasih orang lain.
"Alasannya suaminya menganggur, ada sebagian besar tukang ojek, dan lainnya, karena penghasilannya kurang dan rata-rata anak mereka banyak, bisa tiga sampai empat. Ditambah lagi keterampilan enggak punya," ungkapnya.
Demi menyambung hidup akhirnya mereka terpaksa mengemis meski profesi itu hina. Kampung Kebanyakan sendiri pernah disinggahi Presiden Joko Widodo pada bulan suci Ramadan 1437 Hijriah.
Sebagai pemimpin RT, Muklas tidak rela Kebanyakan dicap kampungnya pengemis. Menurutnya, yang mengemis itu kebanyakan oknum dan bukan warga asli di sana. Karena masih banyak warga setempat yang bekerja sebagai tukang jahit.
"Memang ada tapi itu hanya oknum bukan berarti semua warga mengemis. Dari sekian ratus warga saya itu kan tidak sampai sepuluh persen yang mengemis. Justru di sini kebanyakan buruh jahit yang kerja di konveksi," terang Muklas.
Mereka yang mengemis itu, kata Muklas, berangkat dari rumahnya pagi biasanya berkeliling di kompleks perumahan, bahkan hingga keluar kota seperti ke Cilegon yang berjarak 14 kilometer.
Mereka kadang diantar pagi dan dijemput pada sore hari oleh suaminya dengan sepeda motor. Bagi yang tak punya motor, maka hanya berjalan kaki untuk mengais iba.
(Salman Mardira)