Dalam artikel ini takkan diuraikan bagaimana kaitannya Guevara, Anne Frank, hingga Sutan Sjahrir dengan Belanda. Tapi kali ini penulis akan mencoba membeberkan beberapa kontroversi yang menyelimuti Kartini dengan Belanda, di balik riuhnya puja-puji terhadap Kartini di Indonesia.
Kalau bicara pahlawan wanita, tentu bukan hanya Kartini yang punya jasa tak terkira bagi negeri kita. Masih ada nama-nama macam Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, hingga Laksamana Keumalahayati.
Kalau mau jujur, peran mereka dan beberapa lainnya yang tak bis disebutkan namanya, nampak lebih nyata ketimbang Kartini. Cut Nyak Dhien dan Laksamana Keumalahayati kita kenal sebagai wanita petarung dari Aceh, sementara Dewi Sartika membuka sekolah bagi para wanita sejak 1904 di Bandung.
Nah kalau Kartini? Well, kita tahu Kartini disebutkan mencetuskan pemikiran-pemikiran tentang wanita yang “independen”, yang tidak hanya harus bergelut di dapur dan di kasur.
Namun lagi-lagi kalau kita mau jujur, pemikirannya itu hanya disampaikan lewat surat terhadap sahabat penanya di Belanda. Jikapun ada Sekolah Kartini yang dibuka pada 1913 di Semarang, itupun dirintis orang Belanda, Van Deventer dengan disokong dana Komite Kartini Fonds yang berada di...Den Haag, Belanda.
Kontroversi yang satu ini juga pernah diungkit mendiang sejarawan Harsja W Bachtiar dalam artikel yang dituliskannya dalam buku ‘Satu Abad Kartini’. Dalam artikel bertajuk ‘Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita’, Harsja mengindikasikan bahwa sosok Kartini tak lebih cari “ciptaan” kolonialis Hindia Belanda.