“Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri labang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja.
Soal gagasan-gagasan tentang emansipasi yang lahir dari Kartini pun sedianya berasal dari aktivis sosial-demokrat Belanda, Estella Zeehandelaar. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda memang tengah gencar menggulirkan “Politik Etis” dan dianggap, Kartini akan jadi sosok yang pas ditampilkan sebagai “srikandi Indonesia”.
Terlebih sejak awal, Belanda melihat di antara para tokoh wanita lainnya, Kartini-lah yang dianggap nihil motivasi menentang pemerintah Hindia Belanda. Soal buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, itupun awalnya diterbitkan di Belanda.
Judul awalnya adalah ‘Door Duisternis Tot Licht’ (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Buku itu merupakan intisari dari kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat penanya di Belanda yang diedit Rosa Abendanon, istri dari Henrij Abendanon yang juga Direktur Departemen Pendidikan Agama dan Industri Hindia.
Terlepas dari kontroversi ini yang tak luput dari perdebatan, ada kisah tragis tentang akhir hidup Kartini. Dalam catatan, Kartini meninggal di usia muda, 25 tahun atau tepatnya 17 September 1904.