Sang kapten meminta Dhien menyerahkan diri dengan sopan kendati dibalas sikap Dhien yang tetap bergeming. Bujukan itu tak mempan dan terpaksa Pang Laot mendekati Dhien yang sontak dibalas cercaan.
“Pengkhianat busuk. Lebih baik kasihani aku dengan menikam daku mati,” seru Dhien kepada Pang Laot di novel ‘Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh’ karya Madelon Székely-Lulofs.
Setelah kemarahannya bisa diredam serdadu Belanda, Dhien hanya bisa meratap dan ‘curhat’ pada Yang Maha Kuasa. “Ya Allah, Yang Maha Kuasa. Mestikah Engkau melakukan ini atas diri saya? Menyerahkan saya ke tangan kaphee (kafir) dalam bulan puasa ini?,” cetusnya.
Belanda kemudian menepati janjinya dengan memperlakukan Dhien dengan baik. Meski dibuang dari Aceh ke tanah pasundan, tepatnya Sumedang, Dhien diperlakukan dengan layak dan hanya dijadikan tahanan rumah.
Di Sumedang ketika dibawa Belanda hingga ditemui Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Suriaatmaja, Dhien ditempatkan di sebuah rumah dengan ditemani seorang ulama, KH Ilyas.