Bersama Teuku Umar, Dhien dikaruniai seorang putri, Cut Gambang yang nantinya terus bersama sang ibu bergerilya di pedalaman Aceh. Dhien mau diperistri Teuku Umar dengan syarat, boleh ikut bertempur demi membalas dendam kematian suami pertamanya.
Tapi nahas, suami keduanya, Teuku Umar pun juga mati syahid dalam pertempuran. Seiring berjalannya waktu dalam masa-masa gerilya enam tahun, pasukannya yang awalnya berjumlah 300 prajurit di dalam hutan, kian menyusut hingga hanya enam orang pada 1905.
Kondisi kesehatan Dhien pun memburuk, hingga menimbulkan rasa iba tak terbendung dari salah satu orang kepercayaannya, Pang Laot Ali. Seperti dikutip buku ‘Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia Volume 1', atas dasar iba itulah Pang Laot Ali mengkhianati Dhien.
Diam-diam, Pang Laot Ali menemui komandan serdadu Belanda, Kapten Veltman dan bersedia memberi tahu persembunyian Dhien dengan syarat, Dhien akan diperlakukan dengan baik dan hormat.
Maka pada 4 November 1905 di sebuah pedalaman hutan Meulaboh, Dhien dan sisa-sisa pasukannya disergap. Beberapa tewas, tapi yang lain melarikan diri termasuk anaknya Cut Gambang.
Saat tembak-menembak reda, datang Kapten Veltman menemui Dhien yang tengah terduduk dan berzikir. Beberapa anak buahnya sudah membawa tandu untuk membawa Dhien karena kondisinya sudah rabun, sering encok dan lemah.