RABU 10 Juni 1970, ribuan warga Jakarta tumpah ruah di jalan, dari Kemayoran hingga kawasan Medan Merdeka. Sepanjang Jalan Patrice Lumumba, dari Bandara Kemayoran hingga persimpangan Gunung Sahari, ribuan orang berdiri sambil memegang spanduk bertuliskan Arab. Mereka menantikan tamu agung dari belahan benua seberang, Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdulaziz Al Saud.
Tepat pukul 11.15 WIB, pesawat Saudi Arabia Airlines yang menerbangkan sang raja mendarat di Bandara Kemayoran. Raja Faisal disambut langsung Presiden Republik Indonesia kala itu, Soeharto, di kaki tangga pesawat.
Sebagai orang berkedudukan tinggi, penampilan Raja Faisal layaknya pria Arab pada umumnya. Ia mengenakan jubah tradisional Arab Saudi, maslah,coklat. Kepalanya ditutupi surban putih, lengkap dengan iqal, ikat kepala khas pria Arab.
Raja Faisal menghabiskan tiga hari di Jakarta. Selama masa itu, jadwalnya padat. Ia mengadakan pertemuan resmi dengan Presiden Soeharto dan para pejabat negara, berpidato di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), meninjau pembangunan Masjid Istiqlal, salat Jumat di Masjid Al Azhar hingga menghadiri berbagai jamuan makan resmi kenegaraan.
Di Jakarta, Raja Faisal menetap di Wisma Negara. Di sinilah ia menerima kunjungan para pejabat tinggi Indonesia kala itu. Kamis, 11 Juni 1970, misalnya, Raja Faisal menyambut tiga rombongan petinggi Indonesia yang datang menemuinya. Menteri RI, pimpinan lembaga tertinggi dan anggota dewan pusat Organisasi Islam Asia Afrika (IOAA) menjadi tamunya sore itu.
Berita Yudha, melalui berita "Zionisme & Komunisme tdk banjak berbeda", Kamis 11 Juni 1970 melaporkan, pertemuan Raja Faisal dengan para tamunya tersebut berlangsung cukup lama. Dari balik pintu kaca yang menjadi sekat antarruangan terlihat jelas, Raja Faisal mendominasi pembicaraan. Ia sering menggerakkan tangan saat berbicara.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Adam Malik dan Menteri Negara Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono yang menjadi tamu tak memiliki kesempatan berbicara. Sesekali mereka menganggukkan kepala merespons ucapan Raja Faisal.
Tawa Kecil Raja Faisal
Raja Faisal dikenal melankolik. Ia tak banyak bertanya. Pertanyaan pertama yang diajukan kakak tiri Raja Salman, yang kini memimpin Arab Saudi, itu saat tiba di Wisma Negara adalah ke mana arah kiblat.
Selama di Jakarta, Raja Faisal juga tidak pernah terlambat menghadiri berbagai acara yang sudah disiapkan. Bahkan, ia selalu datang lebih awal, paling lambat 10 menit sebelum acara dimulai.
Sebagai tamu negara, Raja Faisal juga tidak menyusahkan. Saat ditawari untuk berjalan-jalan ke Bogor dan melihat Kebun Raya, ia menolak. Bagi Raja Faisal, ia sudah cukup puas bisa melihat-lihat berbagai masjid di Jakarta.
Untuk melayani keperluannya selama tiga hari jauh dari Istana Kerajaan Arab Saudi, Raja Faisal membawa serta para pembantunya. Namun, rombongannya tidaklah sebesar yang akan diboyong Raja Salman. Raja Faisal hanya membawa 58 anggota rombongan, termasuk delapan anggota inti seperti penasihatnya Pangeran Nawaf dan kepala kabinet kerajaan, Dr Richard Faroun.
Sehari-hari, ada dua pelayan yang selalu siap sedia mengurusi kebutuhan Raja Faisal. Satu orang memastikan kebutuhan pakaian sang raja, sementara satu pelayan lainnya bertugas menyediakan teh (shai) dan kopi (kahwah) Arab.
Para pembantu Raja Faisal, seperti dikisahkan dalam berita "Radja Faisal bisa ketawa ketika dengar gadis2 ketjil menjanji Arab", yang diterbitkan Berita Yudha, Kamis 11 Juni 1970, menyebut, sang raja amat jarang tertawa. Namun, nampaknya ia cukup terhibur hingga tertawa kecil saat menghadiri jamuan makan malam kenegaraan di Istana Negara, Rabu 10 Juni 1970 malam. Kala itu, Raja Faisal menonton pertunjukan gadis-gadis kecil mempersembahkan nyanyian-nyanyian Arab, lengkap dengan tabuhan rebana.
Sisi Lain Raja Salman
Empat puluh tujuh tahun berlalu sejak kunjungan Raja Faisal ke Indonesia. Kini, adik tiri yang menggantikan posisinya di takhta Kerajaan Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al-Saud akan mengobati kerinduan publik Indonesia setelah hampir setengah abad tidak mendapat kunjungan Raja Arab Saudi, Pelayan Dua Kota Suci. Ya, Raja Salman diagendakan mengunjungi Indonesia pada 1-9 Maret.
Memimpin sejak 2005 pasca-kematian saudaranya, Raja Abdullah, sosok Raja Salman lebih dari sekadar pemegang kekuasaan tertinggi di tanah Arab.
Pria 81 tahun itu telah menghafal Alquran sejak usia 10 tahun. Bahkan, ia membaca kitab suci dengan bacaan sempurna dan lagu seperti para qari. Sang raja sering memimpin doa pada berbagai kesempatan, termasuk upacara pemakaman.
Sebelum naik takhta, Raja Salman memimpin Riyadh sebagai gubernur selama sekira lima dekade. Rekam jejak kepemimpinannya amat bersih. Bahkan ia mendapat banyak penghargaan karena bisa memberantas korupsi.
Di sisi lain, Raja Salman juga merupakan pemimpin yang adil. Ia meminta siapa saja yang telah melakukan pelanggaran untuk mengaku dan akan diberi pengampunan. Sebab baginya, rakyat adalah anak dan cucunya sendiri. Bahkan, ia pernah mengampuni siapa saja yang memiliki denda di bawah setengah juta Riyal.
Sebagai pemimpin, Raja Salman dikenal tegas dan tidak tebang pilih. Saat seorang pangeran melakukan tindak kriminal, titah Raja Salman, maka status si pangeran sama di mata hukum.
Perlakuan sama ini pulalah yang ia terapkan saat beribadah. Sebagai penguasa tanah Arab, tentu akan mudah bagi Raja Salman meminta penjagaan khusus saat melakukan tawaf mengitari Kakbah. Sebaliknya, ia tidak memakai pengamanan ekstra. Raja Salman justru berbaur dengan jamaah lainnya.
Ketaatan Raja Salman saat beribadah tidak diragukan lagi. Saat Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama datang berkunjung, Raja Salman langsung berpamitan untuk salat ketika mendengarkan suara azan. Obama pun menyaksikan sang raja menunaikan salat Ashar berjamaah di karpet merah.
Raja Salman juga pemimpin yang melek teknologi. Seperti pemimpin di era milenium saat ini, Raja Salman memiliki akun Twitter. Saat baru dibuat, akun tersebut langsung diikuti 200 ribu orang. Kicauan perdananya adalah doa bagi seluruh kaum Muslim.
(Silviana Dharma)