JAKARTA – Ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno berpendapat bahwa penetapan tersangka yang dilakukan Kejaksaan Agung kepada mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak lah sah. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu, ada kejanggalan dari kasus ini lantaran surat perintah penyidikan (sprindik) dan penetapan status tersangka Dahlan dilakukan pada hari yang sama.
"Sprindik itu adalah tahap awal dimana penyidik akan melalukan tugasnya, di sisi lain sesorang bisa ditetapkan sebagai tersangka minimal dua alat bukti. Sehingga pertanyaannya adalah, pada saat sprindik itu dibuat apakah penyidik sudah menemukan alat bukti atau tidak? Padahal sprindik itu merupakan tahap awal dari proses penyidikan," kata Basuki di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/3/2017).
Karena keraguan akan adanya alat bukti yang cukup, Basuki berpendapat penetapan tersangka Dahlan cacat hukum. "Sehingga diragukan kalau sprindik dibuat bersama-sama dengan penetapan tersangka, maka pendapat saya penetapan tersangka itu tidak sah, karena bisa dipastikan belum ada alat bukti yang cukup," ujarnya.
Selain itu, penetapan Dahlan sebagai tersangka juga diketahui didasarkan pada salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama Dasep Ahmadi. Dasep telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara serta membayar uang pengganti sebesar Rp17,1 miliar.
Basuki menjelaskan, putusan terhadap terdakwa A tidak serta merta bisa memutus bersalah pula terdakwa B. Pasalnya, masing-masing terdakwa harus dapat dibuktikan perbuatan yang disangkakakn terhadapnya. "Tidak bisa dikatakan kalau A terbukti bersalah pasti B terbukti, tidak. Karena untuk menyatakan seseorang dipidana juga harus dibuktikan adanya unsur kesalahan," jelasnya.