TIDAK sedikit nama-nama tokoh yang sarat perannya di balik layar tegaknya negara kita, namun jarang terdeteksi radar pengetahuan generasi muda sekarang. Abdurrahman (AR) Baswedan contohnya.
Kalau mendengar nama belakangnya, mungkin banyak yang mengira bahwa beliau punya hubungan keluarga dengan Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta 2017 Anies Baswedan. Hmmm, Anda enggak salah kalau mengira demikian.
(Baca: Perkenalkan! Ini AR Baswedan Negarawan Sarat Jasa sang Kakek Anies Baswedan)
Sedikit menguraikan biodatanya, AR Baswedan lahir di Surabaya pada September 1908 dari peranakan Arab. Tepatnya berasal dari Syibam, Hadramauth, Yaman Selatan.
Bicara sosoknya terbilang lengkap. Sastrawan iya. Wartawan iya. Budayawan iya. Diplomat juga iya. Sejak era 1930-an, AR Baswedan sudah gencar berusaha menyatukan para peranakan Arab untuk membantu perjuangan Indonesia.
AR Baswedan juga sempat mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) di Semarang. Bahkan sampai tercetus Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 5 Oktober 1934 yang berbunyi:
1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia
2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri)
3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia
Namun bukan pekerjaan gampang buat AR Baswedan mengajak komunitas peranakan Arab untuk mendukung Indonesia. Negara yang dicanangkan dengan beragam opsi bentuk negara seperti di negara-negara barat. Bagi masyarakat Arab kala itu, apapun yang berbau barat itu kafir.
Pun begitu bukan berarti AR Baswedan patah semangat dan justru, terus menggencarkan pemikiran-pemikirannya lewat berbagai tulisan yang kemudian juga mengarahkan kariernya di dunia jurnalistik di surat kabar Sin Tit Po.
Di masa pendudukan Jepang, AR Baswedan terlibat sebagai wakil peranakan Arab dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. Dalam salah satu sidangnya, AR Baswedan menegaskan kembali soal “posisi” peranakan Arab sebagai salah satu elemen bangsa Indonesia.
“Waktu itu di sidang BPUPKI saat agenda soal kewarganegaraan, semua perwakilan keturunan itu berbicara. Perwakilan dari peranakan Tionghoa, ada ada juga dari kelompok pemuda Indo-Belanda yang diwakili PF Dahler dan dari peranakan Arab yang mewakili AR Baswedan,” ujar sejarawan muda Jaka Perbawa kepada Okezone.
“Di situ dia (AR Baswedan) menyatakan bahwa di mana saya lahir, di situ tanah airku. Sudah enggak ada hubungannya lagi dengan Hadramauth karena sudah turun-temurun tinggal di sini (Indonesia),” imbuh Kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi itu.
Setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, AR Baswedan juga membubarkan PAI dan sementara tokoh-tokoh Arab lainnya masuk berbagai partai, AR Baswedan justru masuk kabinet Perdana Menteri Sjahrir sebagai Menteri Muda Penerangan.
AR Baswedan juga ikut dalam rombongan delegasi RI yang dipimpin Menteri Luar Negeri H Agus Salim ke Kairo, Mesir pada 19 April 1947. Sekira 4 bulan mereka di Mesir hingga mendapatkan pengakuan kedaulatan resmi Mesir kepada RI secara de facto dan de jure, di mana pengakuan ini yang pertama didapat Indonesia kala itu.
Sepanjang hidupnya hingga wafat pada 16 Maret 1986, AR Baswedan hidup dalam kesederhanaan. Rumah yang ditempatinya di Kompleks Taman Yuwono, Yogyakarta saja, merupakan rumah pinjaman dari H Bilal.
Ya, meski sudah punya sepak terjang yang sarat jasa, AR Baswedan tak pernah memanfaatkan jabatannya sedikit pun. Mobil tua yang dimilikinya pun, merupakan mobil hadiah atau kado ulang tahunnya yang ke-72 dari Wakil Presiden RI Adam Malik yang juga sahabatnya.
AR Baswedan meninggal pada 16 Maret 1986 di usia 77 tahun karena kondisi kesehatannya yang menurun. AR Baswedan menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan berdasarkan wasiatnya, memilih disemayamkan di TPU Tanah Kusir, sebagaimana para pejuang lain yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
(Randy Wirayudha)