Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

OKEZONE STORY: Rindukan Tanah Air, Eks Mata-mata Pyongyang di Korsel Memohon Dipulangkan ke Korut

Rahman Asmardika , Jurnalis-Sabtu, 23 September 2017 |08:01 WIB
OKEZONE STORY: Rindukan Tanah Air, Eks Mata-mata Pyongyang di Korsel Memohon Dipulangkan ke Korut
Seo Ok-Ryol ingin kembali ke Korut untuk terakhir kalinya. (Foto: AFP)
A
A
A

KECINTAAN pada tanah air terkadang mengalahkan segalanya, seperti kecintaan Seo Ok-Ryol kepada Korea Utara (Korut). Meski lahir di Korea Selatan (Korsel), mantan mata-mata Pyongyang berusia 90 tahun itu masih merindukan untuk kembali ke tanah air-nya atau yang dia sebut sebagai “fatherland”, Korut, untuk terakhir kalinya.

Perjalanan hidup Seo penuh dengan tragedi. Dia menghabiskan tiga dekade di dalam penjara Korsel setelah tertangkap melakukan kegiatan mata-mata pada 1960-an. Dia terhindar dari dua hukuman mati dan mengaku terpaksa menyatakan kesetiaannya kepada Seoul agar dibebaskan dari penjara.

Namun, pria lanjut usia yang mengatakan dirinya ‘tidak melakukan kesalahan selain kecintaannya kepada fatherland’ itu mengatakan ingin kembali ke Korut sebelum dijemput ajal.

Seo lahir di sebuah pulau di selatan Korea dan menjadi komunis saat menjadi siswa di salah satu universitas elit korea di Seoul. Dia kemudian bergabung dengan pasukan Korut pada Perang Korea dan mundur bersama mereka saat pasukan PBB mendesak maju.

Usai gencatan senjata, Seo bergabung dengan Partai Pekerja Korut dan bekerja sebagai guru di Pyongyang saat dia ditugaskan ke sekolah pelatihan mata-mata pada 1961. Dia dikirim dalam sebuah misi ke Selatan untuk mencoba merekrut pejabat senior pemerintah Korsel yang saudaranya telah membelot Utara.

"Saya harus pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada istri saya,” kata Seo sebagaimana dikutip Daily Mail, Sabtu (23/9/2017).

Dia menyelundup dengan berenang melintasi Sungai Yeomhwa dan berhasil bertemu dengan orangtua dan keluarga pembelot Korsel tersebut. Namun, dia diterima dengan dingin serta penolakan dan misinya pun gagal.

Seo tinggal selama sebulan di Selatan saat pesan radio dari Pyongyang memerintahkannya untuk kembali ke Utara. Sayangnya, dia terlambat tiba di tempat penjemputan dan ketinggalan perahu penyelamat yang seharusnya membawanya kembali. Putus asa, Seo sempat mencoba berenang melintasi sungai, sampai dia ditangkap oleh angkatan laut Korsel.

“Sebagai mata-mata, Anda seharusnya bunuh diri dengan menelan kapsul racun atau menggunakan senjata. Tetapi saat itu tidak ada waktu untuk melakukan bunuh diri,” kata Seo.

Dia kemudian diinterogasi, disiksa dan dipukuli selama berbulan-bulan tanpa cukup makan atau tidur sebelum dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer. Selama menunggu eksekusi, Seo ditahan di sebuah sel tunggal, menyaksikan beberapa mata-mata Korut lain meregang nyawa di tiang gantungan.

Pada 1963, hukuman matinya dibatalkan karena dia dianggap sebagai seorang mata-mata pemula yang gagal menjalankan misinya. Namun, dia kembali divonis mati pada 1973 setelah ketahuan berusaha membujuk tahanan lain untuk menganut komunisme.

“Ibu saya berulangkali pingsan di pengadilan saat jaksa menuntut hukuman mati dan hakim menjatuhkan hukuman mati,”kata Seo dalam wawancara dengan media internasional.

Orangtua Seo menjual rumah mereka untuk menutupi biaya pengadilan putranya, tetapi mereka meninggal saat Seo masih mendekam di penjara. Pihak Korsel melakukan berbagai upaya untuk membuat para tahanan Korut berpindah keyakinan, bahkan dengan cara penyiksaan seperti waterboarding, pemukulan, membatasi makanan dan tidur, atau menempatkan mereka di sel kecil dan tertutup.

Seo bertahan dan menolak melepaskan ideologi komunisnya meski dia kemudian harus kehilangan mata kirinya karena radang. Tetapi setelah tiga dekade, pada 1991, Seo akhirnya berkompromi dan berjanji untuk menaati hukum Korsel.

Dilepaskan pada pembebasan bersyarat, dia pindah ke Gwangju, dekat dengan tempat kelahiran dan saudara kandungnya. Dia tidak melepaskan kesetiaannya pada Korut, memuji negara di mana dia bisa lulus dari universitas elit dengan subsidi dari negara. Di apartemennya, Seo menyuarakan pembelaan terhadap program nuklir dan rudal Korut yang dia anggap perlu untuk melindungi negaranya dari invasi asing seperti Amerika Serikat (AS).

Beberapa tahun setelah pembebasannya, seorang wanita Korea di Jerman yang mengunjungi Pyongyang mengatakan bahwa istri dan anak laki-laki Seo masih hidup. Tetapi dia menyarankan pada Seo untuk tidak mencoba menghubungi mereka karena khawatir akan berdampak buruk pada peluang karier putranya.

Seo yang tidak pernah menikah lagi kehilangan kata-kata saat ditanya apa yang akan dia ceritakan kepada istrinya jika mereka bertemu lagi.

"Saya ingin mengatakannya, terima kasih telah terus hidup. Aku telah merindukanmu. Saya tidak pernah berharap untuk berpisah denganmu untuk waktu yang lama,” kata Seo sambil berusaha  mengendalikan suaranya.

Meski Korsel telah memulangkan 60 tahanan, yang terdiri dari tentara, gerilyawan dan mata-mata Korut menyusul pertemuan puncak kedua negara pada 2000, Seo tidak memenuhi syarat untuk dipulangkan karena dia telah menyatakan sumpah setia kepada Seoul.

Walau begitu, Seo masih bermimpi untuk kembali kepada istri dan anak laki-lakinya di sebuah negara Korea yang bersatu. Sejumlah aktivis saat ini telah meluncurkan petisi agar Seo dan beberapa refuseniks Korut lainnya di Korsel dapat dipulangkan ke Tanah Air mereka.

Seo adalah sebuah gambaran dari dampak terpisahnya Semenanjung Korea yang juga dirasakan banyak warga Korea lainnya. Di sisi Selatan, Seo masih memiliki kerabat dan saudara sementara di Utara dia memiliki seorang istri dan dua orang anak.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement