PADA zaman modern, isu perubahan iklim yang menjadi perhatian warga dunia dianggap sebagai penyebab kondisi cuaca yang tidak normal. Namun, fenomena seperti itu, ternyata bukanlah sebuah fenomena baru di dunia.
Dilansir Vintage News, Sabtu (30/9/2017), 1816 tercatat dalam sejarah sebagai sebuah “Tahun Tanpa Musim Panas” yang menunjukkan adanya fenomena cuaca yang aneh. Namun, tidak hanya itu, tahun yang sama juga dikenal sebagai “Tahun Kemiskinan” dan “Delapan Ratus Mati Kedinginan.”
Ada alasan di balik sebutan itu: anomali iklim parah yang menyebabkan suhu global rata-rata turun sekira 10-13 derajat celcius. Kondisi itu menyebabkan Belahan Bumi Utara menderita, mengakibatkan kekurangan makanan utama seiring dengan turunnya salju pada Juni dan badai beku yang terjadi pada Agustus. Mungkin bagi penduduk bumi saat itu kondisi dunia tersebut terasa seperti akhir dunia.
Meskipun tidak sepenuhnya diketahui apa yang menyebabkan kondisi cuaca ekstrem semacam itu, kebanyakan teori menduga letusan gunung berapi yang hebat yang terjadi dua tahun sebelumnya turut menjadi faktor. Pada 1815, letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia, terjadi. Letusan itu dilaporkan berada pada skala 7 di Volcanic Explosivity Index (VEI), menyebabkan material vulkanik yang tak terhitung jumlahnya terlempar ke atmosfer. Letusan lain yang mungkin memicu Tahun Tanpa Musim Panas adalah letusan Gunung Mayon di Filipina pada 1814.
Terlebih lagi, Bumi telah melewati periode pendinginan global selama berabad-abad, yang sekarang dikenal sebagai Little Ice Age. Periode ini secara konvensional didefinisikan berlangsung dari abad 16 sampai abad ke-19 dan menyebabkan krisis pertanian dan kemiskinan yang signifikan di seluruh Eropa.
Apa yang terjadi pada 1816 diyakini merupakan pendinginan yang sedang berlangsung dari Little Ice Age yang diperburuk oleh letusan gunung berapi.
Sejarawan John D. Post menggambarkan peristiwa pada 1816 sebagai "krisis kehidupan terakhir di dunia Barat." New England, Atlantik Kanada, dan sebagian besar wilayah Eropa Barat tampaknya menjadi wilayah yang terkena dampak paling besar.
Seiring pertanian yang terdampak krisis dan panen yang gagal, terjadi sejumlah kerusuhan di Inggris dan Prancis. Keadaan bahkan lebih buruk lagi di Swiss, di mana pemerintah mengumumkan keadaan darurat karena kelaparan besar akibat kelaparan. Hujan yang tak henti-henti turun turut memperburuk situasi, karena beberapa sungai terbesar di Eropa meluap dan menyebabkan banjir.
Peristiwa mengerikan itu memiliki implikasi yang rumit, meski tidak semuanya buruk. Konsentrasi tephra, bahan partikulat yang dilepaskan oleh letusan gunung berapi, yang tinggi berakhir di atmosfer sehingga menciptakan fenomena matahari terbenam yang unik. Beberapa di antaranya terekam dalam lukisan karya pelukis Inggris J. M. W. Turner. Fenomena matahari terbenam serupa juga tampak setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883, dan belakangan ini, pada 1991 ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus.
Namun, di tengah bencana besar ini, manusia justru terdorong untuk menemukan inovasi berharga. Misalnya, karena kelaparan yang menyebabkan tidak ada makanan untuk memberi makan kuda, penemu Jerman Karl Drais termotivasi untuk mencari metode transportasi lain. Dari pemikirannya, Drais berhasil menemukan velocipede, atau sepeda.
Justus von Liebig, seorang ahli kimia yang pernah mengalami kelaparan hebat saat kecil di Jerman, kemudian mengabdikan hidupnya untuk mempelajari nutrisi tanaman dan mengembangkan penggunaan pupuk mineral.
Bidang literatur juga mendapatkan efek positif dari bencana 1816. Hujan yang turun tiada henti di Eropa dan Swiss membuat para penulis seperti Mary Godwin, Percy Shelley, Lord Byron dan John William Polidori kemudian berlomba-lomba untuk membuat cerita-cerita terseram yang sesuai dengan kondisi saat itu.
Mary Godwin yang kemudian dikenal dengan nama Mary Shelley muncul dengan karya agungnya, Frankestein, Lord Byron menelurkan A Fragment, yang kemudian menginspirasi Polidori untuk menulis The Vampyre, sebuah karya terdepan dalam novel mengenai makhluk penghisap darah, Drakula.
(Rahman Asmardika)