Belajar dari Malaysia
Beberapa waktu hari belakangan, dunia internasional tengah dihebohkan dengan pencurian data pribadi para pengguna ponsel di Malaysia. Tak tanggung-tanggung, data yang berhasil dicuri para peretas (hacker) mencapai 46 juta. Bahkan, pencurian tersebut digadang-gadang sebagai pencurian data pribadi pengguna ponsel terbesar di Asia.
Terkait kasus itu, otoritas setempat, kepolisian dan Badan Regulasi Internet, Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) mengaku masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
"Kami sudah mengidentifikasi beberapa sumber potensial soal kebocoran ini dan kami akan menuntaskan kasus ini segera," ujar Menteri Komunikasi dan Multimedia Salleh Said kemarin, sebagaimana dilansir Bangkok Post.
Selain itu, Cashshield, perusahaan Singapura yang bergerak di bidang keamanan siber mengatakan, dalam banyak kasus, biasanya para peretas mengambil informasi berkualitas dari setiap data yang mereka curi, termasuk NIK, nomor telepon, hingga alamat email beserta kata kuncinya.
"Para peretas ini memiliki informasi berkualitas seperti tanggal kelahiran, nomer kartu identitas, nomer telepon, alamat email dan kata kuncinya," kata Justin Lie, sebagaimana dilansir Straitstimes.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (UNPAD), Muradi meminta pemerintah belajar dari pencurian data di Malaysia. Sebab, dalam kasus Malaysia, Muradi melihat adanya kemungkinan keterlibatan orang-orang di dalam otoritas dalam kejadian tersebut. Karenanya, pemerintah harus siap untuk menghadapi berbagai potensi kecolongan terkait perlindungan data masyarakat.