SITUASI di Timur Tengah, terutama di wilayah Palestina-Israel kembali memanas pekan ini setelah Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengumumkan keputusan untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota dari Israel. Keputusan itu disambut dengan kecaman dan kemarahan dari dunia internasional, baik negara-negara Arab mau pun sekutu AS di Barat.
Sebelum keputusan yang diumumkan pada Rabu, 6 Desember waktu Washington itu, Pemerintah AS lebih memilih untuk menjaga status quo dari Yerusalem. Pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem telah direncanakan sejak 1995, tetapi Presiden AS terdahulu sepakat bahwa status Yerusalem hanya dapat diputuskan melalui perundingan.
BACA JUGA: Sepucuk Surat yang Mengawali Penderitaan Panjang Rakyat Palestina
Konflik Palestina-Israel berawal sejak masa Perang Dunia I dengan diterbitkannya Deklarasi Balfour yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Arthur James Balfour pada 2 November 1917. Deklarasi yang kemudian dikirimkan kepada warga keturunan Yahudi terkemuka, Baron Lionel Walter Rothschild itu intinya berisi dukungan Inggris terkait pendirian pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina.
Deklarasi Balfour dibuat di tengah situasi sulit yang dihadapi Inggris pada Perang Dunia I. Inggris yang terjebak dalam stalemate menghadapi Jerman dan baru saja gagal menaklukkan Ottoman Turki di Galipoli berharap dukungannya terhadap gerakan Zionis dapat membuahkan sokongan dari kaum Yahudi di AS dan Rusia.
Setelah Perang Dunia I berakhir, Inggris sebagai salah satu pemenang mendapat kuasa untuk menjadi protektorat di Palestina yang sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Ottoman sesuai dengan mandat dari Pakta Versailles 1919. Situasi ini dimanfaatkan untuk membuka pintu eksodus kaum Yahudi ke Palestina.
Hanya dalam waktu singkat, populasi Yahudi di Palestina meningkat drastis diiringi dengan munculnya konflik antara Arab dengan Yahudi. Situasi ini sedianya akan berusaha ditangani oleh Inggris, namun pada 1945, Perang Dunia II pecah. Â Â
Sebagaimana diketahui, selama Perang Dunia II, kaum Yahudi terutama di Eropa menerima pukulan hebat akibat kebijakan dari Nazi Jerman. Trauma Holocaust dan kekejaman yang diterima kaum Yahudi semakin meningkatkan dukungan pada gerakan Zionisme dan pembentukan negara Yahudi.