JAKARTA - Menjelang Pemilu 2019, sejumlah lembaga telah merilis hasil survei mengenai calon-calon potensial. Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan muncul dalam radar sejumlah survei. Jika Anies memutuskan untuk meninggalkan kursi pimpinan DKI, dan maju ke Pemilu 2019, maka sejarah akan terulang sebagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu melakukan hal yang sama.
Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, bukanlah hal yang menyalahi aturan jika hal itu tejadi. Terlebih bila gagasan Anies maju ke 2019 berdasarkan survei masyarakat.
"Kalau rakyat meminta dia jadi menjadi presiden atau wapres, apakah kita harus mengecewakan rakyat. Jokowi melakukan hal yang sama, apa bedanya dengan Anies? Anies juga boleh dong," kata Emrus kepada Okezone, Minggu (10/12/2017).
Memang harus diakui selama kurang lebih dua bulan memimpin DKI belum Anies menunjukkan kinerja yang kinclong. Tetapi menurut Emrus, evaluasi kinerja umumnya dilakukan dalam 100 hari pertama.
"Kita lihat saja kinerja beliau, kalau rakyat meminta ya enggak salah juga," lanjut dia.

Emrus bahkan berpandangan, akan menjadi sesuatu yang menarik jika nanti Anies dipasangankan dengan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, yang juga disebut dalam sejumlah lembaga survei dan akan masuk dunia politik usai pensiun. Menurutnya Gatot berpeluang menjadi capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo Subianto yang selama ini disebut-sebut akan mengulng rivalitas saat Pemilu 2014 silam.
"Kalau dipasangkan menarik juga (Gatot dan Anies), akan semakin ada calon-calon bermutu. Jokowi kan bermutu, saingannya, katankanlah pasangan lain harus bermutu," ujar Emrus.
(Baca juga: Punya Elektabilitas Tinggi, Anies Dinilai Punya Hasrat Maju Jadi Cawapres)
Sedangkan menurut pakar tata kota Nirwono Yoga, pergantian kepala daerah yang terlalu cepat karena mengikuti perebutan kursi yang lebih tinggi, berdampak pada pembangunan yang tidak tuntas dan tidak berkesinambungan.
"Dalam konteks tata kota sebenarnya model seperti ini tentu tidak akan baik bagi pembangunan kota ke depan, karena bagaimana mungkin dia bisa mewujudkan kerja dengan cepat kalau dalam waktu singkat mereka sudah harus berpindah," kata Nirwnono, Minggu (10/12/2017).
(Baca juga: Survei Elektabilitas Cawapres Tertinggi, Gerindra Ingin Anies Tetap Pimpin Jakarta)
Menurut Nirwono, dalam masa kepemimpinan yang diselesaikan tuntas satu periode saja, waktu efektif bekerja kurang lebih hanya dua sampai tahun. Tahun pertama untuk konsolidasi internal, tahun kedua dan ketiga biasanya pembangunan berjalan, tahun keempat hasil pembangunan hendaknya sudah dirasakan, dan tahun kelima kepala daerah bersiap untuk maju kembali atau mencalonkan ke tingkat yang lebih tinggi.

"Ini normal ya bicara normal. Apalagi kalau tidak normal, dalam satu setengah tahun mereka sudah naik, tentu program-program tidak akan bekerja dengan optimal," lanjut dia.
Biasanya, untuk mendongkrak elektabilitas, kepala daerah yang berniat maju ke kontestasi yang lebih tinggi menjalankan program quick win yang langsung dapat dilihat hasilnya oleh masyarakat. Namun, program-program semacam ini juga dinilai bukan solusi untuk memuntaskan pembangunan.
"Kalau kita bicara Jakarta, awalnya Pak Jokowi langsung menata Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, kemudian warga segera direlokasi ke rumah susun. Setelah lima tahun sejak pak Jokowi menjabat gubernur, berhenti sekarang. Revitalisasi waduknya itu masih ada 7 ribu KK yang belum dipindahkan terutama bagian barat, terus Waduk Ria Rio dari 25 hektar yang sudah dibebaskan, baru 4 hektar yang ditata," jelas Nirwono.