PENGALAMAN memimpin berbagai perusahaan selama puluhan tahun menjadi modal Zulkifli Hasan memimpin partai politik hingga lembaga tertinggi negara. Duduk di kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019, masa jabatan pria asli Lampung ini cenderung adem-ayem, jauh dari perseteruan politik.
Nyatanya, kata Zulkifli, menjaga konsitusi dan persaudaraan kebangsaan Indonesia adalah tugas yang sungguh tidak ringan, apalagi di saat-saat seperti tahun politik saat ini.
“Kita saksikan persaudaraan kebangsaan mulai memudar, kadang-kadang gara-gara Pilkada menghalalkan semua cara. Ada juga yang mengatakan; kelompok saya maka teman saya, kalau bukan maka lawan saya. Tentu ini harus kita luruskan,” tutur Zulkifli.
Saat Okezone bertandang ke rumah dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Selatan, belum lama ini, Zulkifli bercerita banyak tentang tugasnya sebagai ketua MPR dalam menjaga keutuhan NKRI, keluarga hingga berbagai keinginan yang masih belum ia capai. Berikut petikannya:
Lebih asyik mana, memimpin perusahaan, partai politik atau lembaga tertinggi negara?
Sama aja, masing-masing ada kesulitan, ada seninya sendiri. Jadi pengusaha tidak mudah, apalagi kalau memimpin banyak anak buah, harus mengambil risiko investasi, menghadapi rugi laba, perkembangan teknologi, inovasi dari negara-negara lain atau persaingan. Tentu tidak mudah.
Tapi saya kira, pengalaman sebagai pengusaha itu memberikan modal bagi kita untuk berkecimpung di bidang-bidang lain, seperti politik. Saya juga pernah menjabat sebagai menteri perhutanan, memimpin fraksi, menjadi sekjen partai, sekarang memimpin MPR. Itu lembaga yang tugas-tugasnya itu sungguh tidak ringan. Karena diatur oleh Undang-Undang untuk memperkuat persatuan.
Zulkifli Hasan (Dede Kurniawan/Okezone)
Berbicara soal persatuan, bagaimana Anda melihat Pilkada, mengingat ada berbagai aspek yang berpotensi memecah NKRI?
Pilkada itu kan sederhana, sebuah pilihan antarkita bersaudara, antarteman yang ingin berbuat terbaik untuk kabupatennya, kotanya, provinsinya. Kita bukan melawan orang lain atau orang asing, terkadang antardua teman. Tapi kenapa harus menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu, apalagi sampai memakai isu SARA.
Janganlah mempertaruhkan segalanya untuk sebuah Pilkada. Apalagi banyak juga yang hanya bertahan satu-dua tahun karena terkena masalah.
Jadi, marilah adu konsep, adu gagasan di Pilkada ini, kita kembangkan politik kebangsaan. Toh kalau tidak menang, 5 tahun lagi ada waktu untuk berkompetisi lagi gitu.
Hentikan saling menista, saling menghujat, memakai isu-isu SARA; itu berbahaya. Itu namanya mempertaruhkan segalanya, mempertaruhkan kesatuan, mempertaruhkan apa bangsa untuk sebuah even yang dalam demokrasi itu sesuatu yang biasa.
Pilihan dalam Pilkada itu boleh beda, tapi kan Merah Putih kita sama, NKRI kita sama.