Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Zulkifli Hasan, antara Pilkada, MPR dan Pilpres 2019

Bayu Septianto , Jurnalis-Sabtu, 20 Januari 2018 |14:34 WIB
Zulkifli Hasan, antara Pilkada, MPR dan Pilpres 2019
Ketua MPR Zulkifli Hasan (Dede Kurniawan/Okezone)
A
A
A

Selain perkembangan demokrasi, Zulkifli juga menyoroti massifnya penyebaran informasi melalui media sosial yang kini cenderung dipercaya masyarakat. Ia menilai, ada 3 faktor yang mendasari hal tersebut yaitu kesenjangan ekonomi, kesenjangan politik dan ketidakpercayaan sosial.

Kesenjangan ekonomi, kata Zulkifli, kini amat mudah terlihat melalui penyebaran informasi melalui berbagai posting-an di media sosial.

“Dengan zaman teknologi seperti sekarang ini, perbedaan yang mencolok antardaerah jadi terlihat. Semua terbuka, jadi orang cemburu dan menciptakan kesenjangan,” tukasnya.

Sementara itu, kesenjangan politik timbul ketika rakyat kecewa dengan wakil, baik di eksekutif maupun legislatif, yang telah mereka pilih.

“Contohnya berbagai kasus penangkapan para kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu membuat rakyat marah, membuat rakyat tidak percaya kepada parlemen, tidak percaya kepada partai politik. Itu yang disebut kesenjangan politik,” tambahnya.

Sedangkan faktor ketidakpercayaan sosial lahir karena rakyat mengalami kekecewaan pada berbagi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak memperjuangkan hal yang sama dengan kepentingan mereka. Belum lagi pada pemberitaan media yang sering berpihak. Akhirnya, menurut Zulkifli, orang lebih memilih mencari informasi sendiri melalui berbagai saluran.

“Ah sudahlah, saya percaya pada handphone saya saja, jadi tidak peduli hoaks atau tidak hoaks. Jadi lama-lama, masyarakat pun percaya pada hoaks,” tuturnya.

Meski begitu, Zulkifli meyakini, semua pihak bisa memerangi hoaks. “Kita benahi berbagai kesenjangan tadi. Kita benahi politik kita. Sehingga secara bertahap, perilaku-perilaku yang saya anggap menyimpang itu bisa kita luruskan kembali,” tegasnya.

Berbagai kesenjangan itu jugakah sebabnya beberapa tahun terakhir, MPR gencar menggelar sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan?

Kita ini sudah 72 tahun merdeka dan sepakat satu bangsa, satu bahasa, satu negara, satu bendera, satu cita-cita. Bahwa kita beragam, sukunya banyak, pulaunya banyak, bahasanya banyak, agamanya banyak, itu fakta. Tapi sudah disepakati 70 tahun lalu.

Jadi jika sekarang ribut-ribut lagi soal itu, berarti kita mundur. Inilah tugasnya MPR, tugas kami untuk mengingatkan kembali. Oleh karena itu saya berkeliling Nusantara, menyampaikan kepada berbagai kalangan, 'Yuk kita jangan mundur lagi dong.’

Kalau sudah sepakat 72 tahun lalu, sekarang ribut lagi soal itu, lah terus kita kapan majunya? Orang sudah ke bulan, orang sudah ke mana-mana, ya, kita masih ribut lagi soal-soal yang sudah disepakati 72 tahun yang lalu.

Tantangan kita kan sekarang bagaimana Indonesia 50 tahun yang akan datang dengan penduduk mencapai sekira 500 juta. Bagaimana menyiapkan pangan, energi, infrastruktur, dan lain-lain. Jadi daripada berkutat dengan berbagai masalah yang sudah disepakati tadi, banyak pikiran yang diperlukan oleh anak negeri ini. Toh memang sunatullah kita itu berbeda-beda, kita itu beragam. Itulah Indonesia. Kalau sama, kan bukan Indonesia namanya.

Bagaimana dampak sosialisasi 4 pilar tersebut hingga saat ini?

Tentu kalau MPR sendiri memang enggak optimal. Tentu harus diikuti oleh lembaga-lembaga lain seperti dulu. Sebab, membangun karakter bangsa itu tugas sepanjang masa, tidak hanya setahun dua tahun melainkan proses yang terus menerus.

Kita berharap seperti dulu, ada berbagai pelatihan seperti Penataran P4 dan pendidikan Pancasila. Kalau bagus, ya jangan dibuang, tentu metodenya disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Dan media terutama harusnya juga ikut partisipasi. Karena media ini kan salah satu pilar demokrasi yang penting.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement