Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tarik Ulur Pendirian Rumah Ibadah untuk Aliran Kepercayaan

Bramantyo , Jurnalis-Jum'at, 20 April 2018 |08:00 WIB
Tarik Ulur Pendirian Rumah Ibadah untuk Aliran Kepercayaan
A
A
A

KARANGANYAR - Impian para pemeluk aliran Kepercayaan untuk bisa mendirikan tempat ibadah tampaknya masih menjadi perjuangan panjang. Pasalnya, masih banyak daerah yang sulit untuk memberikan izin bagi para penghayat ini mendirikan tempat ibadah.

Meskipun, Mahkamah Konstitusi telah menghilangkan 'diskriminasi' pada komunitas penghayat kepercayaan. Di mana ada pengakuan utuh pada semua warga negara sehingga masyarakat penghayat kepercayaan tenang untuk mengenalkan identitasnya sendiri sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka.

Seperti di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di mana Kabupaten yang terletak dilereng Gunung Lawu ini belum bisa memberikan izin pendirian tempat ibadah bagi para penganut kepercayaan. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar Agus Cipto Wardoyo mengatakan pihaknya belum bisa memberikan izin bagi para penghayat untuk mendirikan tempat ibadah sesuai dengan keinginan mereka. Meskipun sudah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi, pihaknya belum bisa melaksanakannya.

"Begini ya, kami belum bisa memenuhi permintaan mereka untuk mendirikan tempat ibadah di wilayah Karanganyar. Memang sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi untuk para penghayat sejajar dengan pemeluk lainnya. Tapi, aturan main dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum ada," papar pria akrab disapa ACW ini.

Menurut ACW, putusan Mahkamah Konstitusi itu baru sebatas diperbolehkannya aliran kepercayaan menuliskan agama yang dianutnya pada kolom agama di KTP. Namun, untuk aturan lainnya, termasuk kebebasan para penganut kepercayaan mendirikan tempat ibadah, tidak tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga pihaknya masih menunggu aturan dari pemerintah terkait aliran kepercayaan ini. ACW pun meminta maaf bila ada permohonan mengajukan tempat ibadah belum bisa dikabulkan, selama belum ada aturan dari pemerintah pusat menyangkut aliran kepercayaan.

"Jadi mohon maaf, kami tak bisa mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi. Kami hanya mengacu pada aturan dari pemerintah. Hingga saat ini kami belum menerima aturan dari pemerintah pusat. Kalau putusan MK itukan menyangkut pengisian di kolom agama pada KTP, tidak lebih. Kecuali bila sudah ada aturan dari pemerintah yang memperbolehkan untuk mendirikan tempat ibadah, silahkan. Tapi kalau belum ada, mohon maaf, kami terpaksa menolaknya," terangnya.

Berbeda dengan Kabupaten Karanganyar yang menolak memberikan izin berdirinya tempat ibadah buat aliran kepercayaan, Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan pihaknya hanya sebatas memfasilitasi dan tidak pernah mempersoalkannya. Sehingga, selama aturan persyaratan pendirian tempat ibadah sudah dipenuhi, dan tidak melanggar dari aturan hukum dan sesuai aturan pendirian tempat ibadah, maka Rudi pun mengizinkan para penghayat itu mendirikan tempat ibadahnya.

"Saya hanya berbicara sebatas perizinan saja. Kalau yang lainnya, bukan kapasitas saya berbicara. Selama pengajuan pendirian tempat ibadah sesuai aturan yang berlaku dan komplit serta tidak melanggar dari perundangan serta aturan pendirian yang diberlakukan, saya akan mengizinkannya. Kalau yang lainnya (mendirikan tempat ibadah) itu mendirikan sendiri-sendiri," terangnya.

Dengan kata lain, ungkap Rudy, selama lingkungan di mana nantinya tempat ibadah itu berdiri mengizinkan dan tak melanggar hukum serta aturan perizinan yang berlaku, pihaknya siap memfasilitasi. Sebab, ungkap Rudy, karena sudah menjadi keputusan, Rudy mempersilahkan saja. Asal, perizinannya komplit. Menyangkut bentuk tempat peribadahannya seperti apa, Rudy tidak mempersoalkan.

"Kita itu bisanya hanya memfasilitasi kemudahan-kemudahan untuk perizinan sesuai aturan. Kalau menuntut tempat ibadah silahkan saja, keterlibatannya hanya dibidang perizinan. Kalau memang keputusannya (MK) sudah seperti itu, tempat ibadahnya seperti apa saya sendiri belum tahu loh. Jadi kalau ada yang meminta tempat ibadah, silahkan saja mau mengajukan izin, boleh, silahkan saja. Pemerintah hanya memfasilitasi perizinan saja," paparnya.

Sementara itu, salah satu tokoh masyarakat Solo, BRM Kusumo Putro mengatakan negara harus memberikan kebebasan pada aliran kepercayaan ini untuk beribadah sama dengan penganut lainnya sejak keluarnya putusan MK. Namun, ungkap Kusumo, pemerintah seharusnya segera mengambil keputusan bersama menyusul keputusan MK ini.

Bukan sebaliknya, Kusumo melihat pemerintah tidak segera mengambil kebijakan menyangkut putusan dari MK ini. Pemerintah justru berkutat pada persoalan kolom agama di KTP. Padahal, tuntutan dari para pemeluk aliran kepercayaan ini terletak pada keinginan mereka untuk mendirikan tempat ibadah.

"Pemerintah harus secepatnya mengambil keputusan bersama sejak keluarnya putusan MK. Aliran kepercayaan itukan jumlahnya cukup banyak. Tiap-tiap suku di Indonesia memiliki aliran kepercayaan sendiri-sendiri. Bila tidak segera diambil keputusan bersama, menyangkut seperti apa bentuk bangunan ibadah aliran kepercayaan ini, simbol apa yang digunakan sebagai tanda bila didaerah itu ada tempat ibadah aliran kepercayaan,makan keinginan para pemeluk aliran ini tinggal sebatas keinginan belaka," ungkap Kusumo.

Kusumo meminta pemerintah belajar dari Jepang. Dimana, Jepang mengakui aliran kepercayaan Sintho sebagai sebuah kepercayaan. Sehingga, pemerintah Jepang pun menetapkan simbol tempat ibadah Sintho buat warganya.

"Di Indonesia begitu banyak nama untuk aliran kepercayaan. Ada Kolocokro, Sapto Dharma, Hinayana,dan masih banyak lagi. Dan selama ini mereka tidak punya tempat ibadah dan mereka bisa beribadah dimana saja. Jadi menurut saya sangat sulit mewujudkan keinginan mereka memiliki tempat ibadah bila pemerintah tidak mengambil sebuah keputusan," lanjut Kusumo.

Terpisah Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Solo Helmy Akhmad Sakdilah menegaskan pemerintah perlu memikirkan dampak lebih jauhnya dari dimasukannya aliran kepercayaan di kolom agama. Dirinya secara pribadi juga tidak setuju terkait keputusan pemerintah tersebut. Seharusnya agamanya tetap menggunakan yang sudah disahkan pemerintah sebelumnya. Ada Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Khonghucu.

"Agama tetap ada Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha, tapi harus beragama. Perkara dia aliran kepercayaan ya monggo saja," terang Helmi.

Terkait wacana jika aliran kepercayaan akan meminta untuk difasilitasi pembangunan rumah ibadah pasca putusan MK Helmi sampaikan itu sangat sulit untuk dipenuhi. Pasalnya aliran kepercayaan bukanlah suatu agama, bahkan syarat suatu agama sudah jelas ada dua yakni harus ada Tuhannya dan kedua jelas ada Kitab Sucinya. Sehingga harus ada definisi yang jelas terkait aliran kepercayaan.

"Karena dia (aliran kepercayaan) tidak ada ada Tuhan, dan tidak ada kitab sucinya maka tidak masuk dalam suatu agama. Dan dimasukkan dalam aliran kepercayaan," tutur Helmi.

Menurutnya semua sudah jelas, misalkan agama Islam tempat ibadahnya Masjid, Kristen dan Katolik di Gereja, Hindu di Pura, Budha di Vihara, demikian juga dengan umat Khonghucu di Klenteng. Namun untuk Aliran Kepercayaan bagaimana bentuk tempat ibadahnya nanti. Islam sendiri, lanjut Helmi, alirannya juga banyak. Meski begitu tempat ibadahnya tetap satu yakni ibadah di Masjid. Demikian juga dengan agama Kristen yang juga memiliki banyak aliran, ibadahnya sama tetap di gereja.

"Meskipun, nuwun sewu (maaf) Islam alirannya banyak tetapi tempat ibadahnya tetap di Masjid. Demikian juga dengan agama Kristen, ada Advent, GKJ, GBI dan lainnya tapi tempat ibadahnya juga Gereja," terang Helmi.

Sedangkan untuk aliran kepercayaan, tidak ada pusatnya, termasuk apa kitab sucinya. Selain itu aliran kepercayaan yang merupakan aliran kebatinan dengan potensi spiritual yang berasal dari akar budaya ini jumlahnya di Indonesia sangat banyak sekali mungkin juga ribuan. Hampir di setiap daerah memiliki aliran kepercayaan yang berbeda.

"Di Jawa Tengah (aliran kepercayaan) sendiri, Jawa Timur juga sendiri. Nanti di Sumatra, Kalimantan ada sendiri. Apalah mereka (penganut kepercayaan) sudah ada persatuannya sendiri sehingga ada tempat yang sama untuk ibadahnya," tutur Helmi.

Sementara itu Wakil ketua Ansor Karanganyar Sulaiman Rasyid mengatakan berdasarkan referensi dari Kemendagri tegaskan bahwa agama tidak sejajar dengan penghayat kepercayaan. Namun justru Aliran Kepercayaan difasilitasi KTP tersendiri. Sebab itulah di kolom KTP nanti tidak disebutkan agama/penghayat. Sedangkan kaitannya dengan rumah ibadah memang belum bisa direalisasikan.

"Sejauh ini Kementrian Dalam Negeri dalam Rakornas FKUB sendiri mengatakan masih belum ada terkait aturan tersebut (rumah ibadah). Pak Menteri ngendiko bahwa penghayat kepercayaan diberi fasilititas KTP sesuai yang dikehendaki. Jadi ini masalah KTP dulu,pastinya semua butuh proseslah," ungkap Sulaiman Rasyid.

Namun seandainya para penghayat kepercayaan memiliki tempat untuk berkumpul, dan melakukan akfitifas untuk ritualnya memang tidak dilarang. Sebelumnya Aliran Kepercayaan juga sudah memiliki tempat ibadah sendiri dan dihari-hari tertentu juga sering melakukan pendalaman ajaran kepercayaan mereka secara berombongan.

"Namun harus ditegaskan bahwa Aliran Kepercayaan bukanlah suatu agama jadi beda. Makanya di KTP juga tidak bisa disebut agama/kepercayaan. Jadi ada form sendiri," pungkasnya.

(Tamat)

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement