Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Penghayat Kepercayaan Masih Sulit Revisi Kolom Agama di KTP

Agregasi VOA , Jurnalis-Rabu, 03 April 2019 |09:30 WIB
Penghayat Kepercayaan Masih Sulit Revisi Kolom Agama di KTP
Ilustrasi (Okezone)
A
A
A

MAHKAMAH Konstitusi telah membolehkan penghayat mencantumkan kepercayaannya di kolom KTP. Namun sejak keputusan ini keluar 2017 lalu, masih banyak penghayat yang mengalami diskriminasi di lapangan. Bagaimana solusinya?

Kolom agama di KTP mungkin tidak banyak kita perhatikan. Namun bagi Tuti Ekawati, kolom itu merangkum kisah jati diri dan diskriminasi.

Perempuan yang tinggal di Bandung ini adalah penganut kepercayaan Budidaya. Dia menceritakan pengalamannya sakit namun terkendala administrasi rumah sakit.

“Yang tadinya sakit ingin cepat ditangani harus berbelit dengan identitas, karena di formnya tidak ada tercantum di luar yang agama yang enam itu,” tuturnya kepada VOA.

“Lah kita harus kemana. Akhirnya kan petugas juga tidak salah, ‘bu, ini saya bagiamana? Ibu harus tetap pilih salah satu’. Ini kan lucu,” kisahnya usai diskusi publik di Bandung, Senin 1 April pagi.

Menganut kepercayaan juga membuatnya sulit mengakses layanan pendidikan, perbankan, dan membuat surat kelakuan baik. Sebab dia harus mengisi formulir dengan kolom agama. Sayangnya hanya ada 6 agama yang difasilitasi pemerintah.

Penghayat Baru Diakui pada 2017

Penganut kepercayaan di Indonesia mengalami diskriminasi berkepanjangan. Sejak Indonesia merdeka, penganut kepercayaan tidak pernah bisa menunjukkan jati dirinya di KTP. Pada masa Orde Baru, tak sedikit penghayat yang ‘terpaksa’ memilih 5 agama (jadi 6 pada masa Gus Dur) dari pemerintah.

Pada 2013, pemerintah membolehkan penganut agama leluhur mencantumkan strip di kolom agama KTP atau mengosongkannya. Organisasi penghayat menilai kebijakan itu diskriminatif sehingga menggugatnya ke MK. Hasilnya, penghayat boleh mencantumkan kepercayaan di kartu identitas.

Namun, ujar Tuti yang juga Wakil Ketua Puan Hayati, pelaksanaan di lapangan masih diskriminatif. Dia mencontohkan, warga penghayat yang ingin merevisi KTP-nya masih bertemu dengan petugas yang tidak tahu keputusan MK.

“Jadi sangat tergantung (petugas) juga, belum seragam maksudnya. Karena sangat bergantung pada aparat di lapangan,” jelasnya.

Dia menuturkan, ada pula petugas yang punya stigma terhadap penghayat sehingga terkesan tidak mau melayani.

“Ada yang secara pribadi sudah tahu aturan tapi terkesan ‘oh form-nya habis, belum tercetak’ 1001 alasan karena mungkin tidak mengerti. Mungkin ada kepentingan pribadi, itu tidak bisa dipungkiri,” tuturnya lagi.

Usai Revisi KTP, Masalah Administrasi Masih Banyak

Ketua Puan Hayati, Dian Jennie, mengatakan sejumlah komunitas penghayat telah merevisi KTP secara kolektif. Hal ini dilakukan di Surabaya (80-an orang), Semarang (400-an orang) dan sejumlah kota lain. Cara kolektif ini dinilai lebih berhasil ketimbang mengurus sendiri-sendiri.

“Buat saya kolektif itu lebih baik, karena itu mengurangi beban warga daerah yang tidak tahu bagaimana cara teknis mengisi form-form itu. Karena menurut saya formulirnya cukup ribet. Sehingga ini perlu orang yang punya kapasitas dan meluangkan waktu untuk hal ini,” jelas Dian dalam kesempatan yang sama.

Namun, usai merevisi kolom agama KTP pun, penghayat masih menghadapi kendala administrasi layanan publik. Formulir-formulir di berbagai layanan publik, ujarnya, hanya menyediakan 6 pilihan agama.

“Jadi perubahan layanan adminduk, perubahan data ini, akan jadi sesuatu yang tidak berguna dan tidak berdampak apabila ini tidak mengubah pola, cara pandang, stigma akan keberadaan penghayat dalam pelayanan yang lain,” ucapnya.

Kelompok Sipil Serukan Harmonisasi Formulir

Selviana Yolanda dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) mendorong harmonisasi sistem administrasi secara nasional. Pemerintah perlu mendorong sektor pendidikan, kesehatan, perbankan, dan lainnya, menyediakan kolom bagi penghayat.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Cimahi, Jawa Barat, akan menyurati berbagai lembaga terkait revisi formulir itu. Menurut Yolanda, inisiatif ini harus didukung edaran walikota, gubernur, bahkan pemerintah pusat.

“Tapi kalau itu di tingkat walikota, bupati atau gubernur, itu jauh lebih kuat ya. Bahkan sampai di sekolah-sekolah, bahan ajar dan segalanya itu bisa diselaraskan. Pilihan agama itu tidak hanya yang terbatas enam tapi kepercayaan juga dimasukan,” jelasnya.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement