JAKARTA - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn MS Yusuf menyebutkan bahwa pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim belum memenuhi kewajiban dalam mekanisme "Master of Settlement Acquisition Agreement" (MSAA).
"Sejauh dari yang saya ingat, tidak seluruhnya (kewajiban) diserahkan," kata Glenn dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Glenn bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.
BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998 dan diwajibkan untuk mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA) di BPPN.
Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun, termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

Sedangkan kewajiban yang harus dibayarkan oleh pemegang saham (Jumlah Kewajiban Pemegang Saham JKPS) yaitu Sjamsul Nursalim adalah Rp28,408 triliun yaitu berupa aset sebesar Rp27,495 triliun ditambah uang tunai sebesar Rp1 triliun.
"Disepakati yang paling likuid dulu, berbentuk 'cash' lalu saham-saham dan aset yang bisa diserahkan ke BPPN, lalu dinegosiasikan dan dikumpulkan dalam 'holding company' agar menjaga aset-aset itu nilainya tidak turun," ungkap Glenn.
PT Tunas Sepadan Investama (TSI) akhirnya disepkati sebagai perusahaan untuk penjualan aset BDNI.
"Rp4,8 triliun itu ada berasal 'asset contributing' sebesar Rp18,85 triliun dan masuk dalam 'asset management credit', namun ternyata macet, jadi kami kirimkan surat yang menjelaskan aset yang diberikan ke AMC BPPN tidak lancar seperti saat MSAA ditandatangani dan 'release and discharge' diberikan, dan aset itu juga dijamin dalam grup (BDNI) mohon diberikan penggantiannya dengan aset lain," jelas Glenn.
Surat BPPN kepada BDNI itu dikirim pada 1 November 1999 lalu dibalas oleh Sjamsul pada 12 November 1999 yang isinya menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil (KUK).
"Ada surat dari beliau (Sjamsul) yang mengatakan belum mau menggantinya sampai kami berhenti pada 10 Januari 2000, dan sampai saat itu belum tuntas masalahnya," ungkap Glenn.
Menurut Wakil Ketua BPPN saat itu yaitu Farid Harianto untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) penyelesaian untuk pemegang saham yang punya aset yang cukup untuk membayar semua kewajiban menggunakan MSAA, sedangkan bila harta pemilik saham tidak mencukupi maka ada bentuk perjajian yang lain bernama "Master of Refinancing Lease Agreement" (MRLA) di mana pemilik saham membayar sejumlah harta yang ia miliki dan kekuarangan dari kewajibannya berarti ia berutang kepada pemerintah.
"Kewajiban untuk nasabah dijamin negara agar pemegang saham membayar kewajiban ke negara. Setelah bank ditutup, kemudian dana pihak ketiga dipindahkan ke bank yang masih hidup, intinya nasabah yang punya tabungan atau deposito di BDNI beralih ke bank lain dan bank-bank itu menyelesaikan kewajibannya dijamin oleh negara," tutur Farid.
Menurut Farid, aset yang harusnya diserahkan Sjamsul untuk membayar kewajiban dalam mekanisme MSAA adalah senilai total Rp28,408 triliun dengan rincian Rp1 triliun dalam bentuk tunai, saham Dipasena Rp19 triliun, saham gajah tunggal dan beberapa aset lainnya.
"Kenyatannya sampai saya dan Pak Glenn selesai (bertugas di BPPN) belum tertuntaskan. Rp1 trilun belum selesai dibayar, saham perusahaan juga ada 'due processnya' dan belum tuntas sama sekali," ungkap Farid.
Farid mengakui bahwa ia baru menerima laporan bahwa aset yang dilaporkan BDNI bermasalah saat dilakukan "financial due diligence" pasca-"release and discharge" (R&D) atau jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukum kepada obligor yang telah memenuhi kewajiban utang kepada BPPN dilakukan.
"Setelah melapor ke saya, ada indikasi bahwa kreditnya macet, tidak seperti yang dinyatakan saat memmuat MSAA, karena itu saya perintahkan ke PT Tunas untuk memakai akuntan publik untuk membuat 'due dilligence' di petambak dan laporan yang kami terima betul ternyata seluruh utang petambak tersebut macet. Saya terima laporan mungkin sekitar pertengahan 1999, hasil dari 'due dilligence' kita terima September atau Oktober 1999," ungkap Farid.
Farid adalah orang yang menandatangani surat R&D untuk BDNI karena saat itu Glenn tidak ada di tempat.
(Khafid Mardiyansyah)