Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ojek Pangkalan di Jakarta: Dulu "Raja", Kini Nyambi Jadi Tukang Cuci Piring

Achmad Fardiansyah , Jurnalis-Kamis, 05 Juli 2018 |07:18 WIB
Ojek Pangkalan di Jakarta: Dulu
Ilustrasi (Dok. Okezone)
A
A
A

"Mau saya antar, bu?" sapaan ramah selalu disampaikan Sakiman alias Babe Uban (69) pada peumpang kereta api yang turun di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Babe Uban adalah satu dari sekian banyak tukang ojek pangkalan yang ngetem di Stasiun Gambir. Namun hari ini, nasib baik nampaknya belum menghampirinya, sejak pagi hingga siang tadi, Babe Uban belum juga mendapatkan penumpang yang menggunakan jasanya.

Ia mengaku narik ojek sejak 20 tahun lalu, atau saat runtuhnya rezim orde baru pada 1998. Babe Uban mengaku sempat jadi "raja" di wilayah Stasiun Gambir. Dirinya pun bercerita masa-masa kejayannya menjalani profesinya sebelum adanya gempuran ojek berbasis aplikasi.

"Dulu saya sampai kerepotan melayani penumpang, sampai ada penumpang yang baru turun dari kereta kita engga narik," katanya saat berbincang ringan dengan Okezone, Rabu (4/7/2018).

Babe Uban setia menunggu penumpang di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Menurut pria kelahiran Solo ini, dulu Stasiun Gambir merupakan lahan "basah" bagi para tukang ojek, apalagi pada hari Senin. Babe Uban harus berangkat dari rumahnya di kawasan Kemayoran sekira pukul 04.30 WIB, karena begitu ramainya penumpang yang baru tiba di stasiun.

"Zaman dulu kalau hari Senin, saya harus jalan dari kontrakan jam 04.30 pagi," ujarnya.

Bicara penghasilan, sebelum maraknya ojek online, ia mengaku dengan mudahnya dapat uang sebesar Rp200 hingga Rp300 ribu per harinya. Namun, setelah adanya ojek online, Uban harus puas mendapatkan pendapatan rata-rata Rp50 ribu per harinya.

Alhasil, untuk mensiasati kebutuhannya, Babe Uban harus berhenti merokok dan ngopi. Dengan begitu, dirinya tidak perlu nombok lagi memenuhi kebutuhannya. "Untung saya udah enggak merokok sama ngopi. Kalau enggak gitu, saya suka nombok kantong," ujarnya.

Soal perang tarif antara ojek online dan ojek pangkalan, Uban mengatakan hal itu yang menjadi salah satu penyebab kemorosotan para pengguna jasa ojek pangkalan.

"Ini yang jadi soal, coba bayangkan, mas, dari sini (Gambir) ke Pulogadung kami biasa pasang tarif Rp50 ribu, tapi kalau di online saya dengar-dengar cuman Rp27 hingga Rp30 ribu, bagaimana enggak lari (ke ojek online), saya sih maunya bedanya dikit sajalah," keluhnya.

Saat disinggung apakah dirinya tak ada niatan untuk gabung ke ojek online, Babe Uban mengatakan cara kerja ojek online tidak cocok diusia yang sudah sepuh seperti dirinya.

"Saya enggak tertarik, karena di online itu kita harus ada target, misalnya kalau ada order ke Pamulang kita harus kejar ke sana, ke bandara kami tarik, saya sudah tua, udah di sini saja," ungkapnya.

Kata Babe Uban, alasanya tetap setia melakoni pekerjaannya sebagai tukang ojek pangkalan meski usianya sudah lanjut, adalah hanya untuk mengisi waktunya setelah istrinya meninggal.

"Saya hanya buat hiburan saja sekarang, istri sudah enggak ada, anak-anak udah pada rumah tangga, jadi dari pada di rumah enggak ada kerjaan mending begini," pungkasnya.

Nyambi Jadi Tukang Cuci Piring

Hal senada dirasakan Zaenal alias Zae (45), tukang ojek pangkalan di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

Sebelum ojek online beroperasi di Gondangdia, pria asal Bangkalan, Madura, itu mampu mengantongi uang sebesar Rp3 juta perbulan atau hampir setara dengan upah minimum DKI Jakarta sekarang. Tapi semenjak adanya ojek online, Zae hanya mendapatkan Rp1,5 juta atau perharinya sekira Rp50 ribu.

"Saya di sini sekitar tahun 2000, dulu saya dapat bangsa Rp3 jutaan, sehari saya bisa antar 10 penumpang bahkan lebih karena jaraknya deket-deket," ujarnya.

Dengan penghasilan yang didapatnya sekarang, Zae mengaku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Zae pun terpaksa nyambi sebagai juru pakir hingga tukang cuci piring para pedagang yang mangkal di Stasiun Gondangdia.

"Ya cukup enggak cukup si bang, kadang saya bantu-bantu markir mobil, kadang juga bersihin mangkok, ya lumayan lah buat nambah-nambah ngirim ke kampung," ucapnya.

Sementara itu, driver ojek pangkalan di kawasan Tanah Abang, bernama Sutejo (55), punya cerita yang mirip dengan dua rekannya tadi. Pria yang biasa dipanggil Tejo itu mengatakan, sejak keberadaan ojek online di sekitarnya, bapak empat anak ini terpaksa harus gali lubang tutup lubang untuk memenuhi kebutuhan setiap bulannya. Bahkan, Tejo nekat meminjam uang di tempat jasa peminjaman keuangan.

"Kadang-kadang pinjem sama teman yang udah gabung di online, kalau engga sama bank keliling, atau kerja harian di restoran China, ya lumayan buat nambah-nambah keperluan dapur dan anak sekolah," bebernya.

Mengetahui pendapatan ojek online yang begitu menggiurkan, bukan berarti Sutejo enggan bergabung seperti teman-temannya yang sudah gabung terlebih dahulu. Tejo mengaku sempat mengirimkan lamaran untuk bergabung dengan salah satu perusahaan ojek yang berbasis aplikasi. Namun, hingga saat ini dirinya belum mendapatkan panggilan dari perusahaan tersebut.

"Saya usah daftar, tapi enggak dipanggil-panggil udah tiga bulan ga dipanggil. temen-temen sih udah pindah duluan, mungkin mentok di umur kali yah, karena yang dicari 50 tahun ke bawah," tutup Tejo.

(Angkasa Yudhistira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement