Klub penelusur gua asal Yogyakarta, Acintyacunyata Speleological Club (ASC), memberikan kado istimewa bagi negeri jelang perayaan HUT ke-73 Kemerdekaan RI. Mereka berhasil mencatatkan sejarah baru, mencapai dasar Hatusaka, gua vertikal terdalam di Indonesia. Berikut laporan yang dihimpun wartawan Harian Jogja Nugroho Nurcahyo.
BULU kuduk Ahmad Sya’roni meremang beberapa saat setelah menjejakkan kaki di dasar Gua Hatusaka, belantara rimba Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Kali pertama menjejakkan sepatu boat di dasar gua, rasa bungah dan bangga menghinggapi. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di dasar gua vertikal terdalam di Indonesia. Jumat (6/8) pukul 16.10 WIT, menjadi waktu yang amat bersejarah baginya, juga bagi dunia penelusuran gua di negeri ini.
Apalagi ini adalah upaya kali kedua klub yang berkantor di Jl Kusumanegara 276, Yogyakarta, ini menelusuri luweng tersebut. Pada 2011, ASC gagal menggapai dasar Hatusaka dan mentok di kedalaman -190 meter akibat air sungai yang keburu membanjiri lorong gua.
Sya’roni yang karib disapa Bokir tak mau berlama-lama terlarut dalam euforia. Ia yang menjadi koordinator ekspedisi sekaligus personel yang mencatat data pemetaan, langsung menjalankan tugasnya mengukur dimensi ruangan dasar luweng.
Senter ia arahkan ke sejumlah penjuru. Mahasiswa Teknik Industri UPN Veteran Yogya itu tertegun. Cahaya senter 1.000 lumens yang ia sorotkan tak dapat menjangkau salah satu dinding gua apalagi atapnya. “Seperti berada di dalam stadion sepak bola dalam keadaan gelap gulita,” kata Bokir.
Pun cahaya senter berintensitas 4.000 lumens yang dibawa rekan satu timnya, A.B. Rodhial Falah, yang menjejak dasar gua selang 2,5 jam kemudian, tak jua menembus dari sisi dinding satu ke dinding lain. Sebagai pembanding, intensitas cahaya lampu Toyota Kijang Innova adalah 3.000 lumens.
Ruangan itu memang ekstra luas dengan langit-langit sangat tinggi. Saking luas dan tingginya, di dalamnya bisa dibangun konstruksi setinggi Tugu Monas atau patung raksasa Garuda Wisnu Kencana seperti di Jimbaran, Bali. Hasil pengukuran akhir pemetaan tim ASC, dimensi ruangan di dasar Gua Hatusaka mencapai 90 meter x 62 meter dengan tinggi atap 180 meter.
Namun bukan gulita yang bikin Bokir jeri. Sebagai penelusur gua berpengalaman, hasil observasi medan, justru membuat perasaannya makin tak enak.
Blender Raksasa
Hatusaka terletak di ujung alur Sungai Niatulun. Sekira dua kilometer dari bibir luweng, air Niatulun menghilang masuk ke rekahan batu gamping, menyisakan alur kering hingga ke mulut gua. Namun jika hujan turun, Sungai Niatulun yang airnya tak bisa lagi terserap rekahan, bakal mengalir masuk ke Gua Hatusaka. Karakter luweng ini mirip gua dalam film Sanctum yang diproduseri James Cameron.
Cuaca di lokasi Gua Hatusaka berbeda dengan cuaca umumnya di Pulau Seram. “Tidak bisa diprediksi sehingga menjadi tantangan dan ancaman utama,” kata Rodhial Falah.
Kendati di atas gua merupakan hutan hujan tropis yang lebat, di dasar gua tidak dijumpai batang-batang pohon besar. Hanya ada serpih-serpih kayu berukuran kecil. Inilah yang bikin keduanya merinding membayangkan risiko berada di kedalaman perut Bumi pada Jumat malam itu.
Tim menduga serpih kayu itu adalah batang-batang kayu besar di permukaan yang terbawa banjir akibat terkoyak-koyak oleh dahsyatnya turbulensi air di pantat gua.
Dasar Luweng Hatusaka ibarat sebuah blender raksasa. Apapun yang terbawa masuk ke dasar gua, akan hancur berkeping-keping digilas pusaran air.
“Bongkahan batu yang di atas begitu besar, di bawah tinggal sekepal tangan. Batang kayu yang di atas begitu besar-besar di bawah tinggal serpihan. Apalagi tubuh saya,” kata Bokir, Selasa (14/8).
Di dasar Hatusaka, ditemukan pula sekelompok cacing tanah dan beberapa jenis serangga. Mereka juga menemukan tumbuhan berdaun hijau setinggi 15 cm, pertanda di saat saat-saat tertentu, cahaya mentari bisa masuk hingga dasar gua.
Khawatir tanah terlanjur jenuh air, keduanya tidak berlama-lama di dasar gua. “Daerah tangkapan hujannya besar. Kalau banjir, luweng bisa berubah jadi air terjun berjenjang setinggi 220 meter, 100 meter dan 180 meter. Sulit keluar dengan selamat kalau hal itu sampai terjadi,” kata Rodhial Falah yang bertugas menjadi penganalisa geologi dan pendokumentasi.
Bokir dan Rodhial Falah hanya berjumpa setengah jam di dasar gua untuk bekerja sama membuat dokumentasi. Pemotretan juga tidak mudah. Dua cahaya flash tidak membantu mendapatkan gambaran utuh ruangan ekstra besar di dasar gua.
Bokir kembali naik duluan. Butuh waktu satu jam meniti tali hingga sampai di teras pertama tempat berlindung. Rodhial Falah butuh dua jam sebab ia harus mencopoti tambatan sembari meniti tali. Jejak kakinya menjadi jejak terakhir yang ditinggalkan manusia di tempat itu.
Tim dari ASC sebenarnya terdiri dari delapan orang dengan spesialisasi masing-masing. Selain Bokir dan Rodhial Falah enam personel lain yakni Sigit Wicaksono (koordinator tim pembuat lintasan/rigging); Adiguna Prasetyo, Andi Situmorang, Arief Wicaksono (ketiganya anggota tim rigging); Andi Setiabudi (Pemetaan gua dan analisis geologi), dan Erlangga Esa Laksmana (koordinator pemetaan gua dan analisis sosekbud).
Walau berdelapan, hanya Bokir dan Rodhial Falah yang turun hingga ke dasar gua, lainnya tinggal di teras dan bibir luweng di permukaan. Kondisi hujan yang turun di permukaan membuat tim memutuskan untuk mengeksplorasi dasar gua secepat mungkin.