“Ironisnya, kekacauan itu justru didorong oleh dimensi media massa dan online yang menyampaikan pesan dari pemerintah bahwa menjarah dibolehkan karena nanti akan dibayar oleh pemerintah. Dimensi artikulasi media ini menjadi puncak legalisasi perilaku brutal tersebut,” imbuh dia.
Aksi penjarahan pasca terjadi bencana, kata Rissalwan, juga pernah terjadi di musibah tsunami Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Padang, Sumatera Barat pada 2009 lalu. Tapi di sana tak berlangsung parah seperti di Palu, karena ketika itu pemerintah tak menganjurkan masyarakat untuk mengambil barang-barang yang ada di pertokoan.

“Waktu di Aceh sempat ada beberapa penerobosan toko kelontong yang rubuh. Demikian pula di Padang, tapi cepat bisa dikendalikan karena memang tidak ada arahan yang melegitimasi penjarahan dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Ia menjelaskan, solusi yang paling efektif dari permasalahan itu adalah pemerintah harus cepat melakukan pendistribusian bantuan secara merata.