BENGKULU - Doni Sagita, tidak seberuntung masyarakat Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu, lainnya. Bagaimana tidak, pria 32 tahun bersama keluarganya hanya tinggal di gubuk reot mirip kandang kambing, tidak layak huni. Hal tersebut lantaran keluarga mereka hidup miskin.
Hidup di Kota Bengkulu, Doni bersama istrinya, Ni Ketut Sartika Dewi (25) dan tiga anaknya, musti bertahan hidup seadanya. Kondisi itu disebabkan pasangan suami istri (pasutri) tersebut hanya bekerja serabutan. Sehingga pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pun jauh dari cukup.
Cuaca di Kota Bengkulu, mendung. Matahari sayup-sayup untuk menampakkan diri menyinari Kota Bengkulu. Begitu juga di jalan Danau Raya RT 1 RW 1 Kelurahan Dusun Besar Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. Pasutri itu tinggal di daerah tersebut. Tidak jauh dari obyek wisata Danau Dendam Tak Sudah.
Pagi itu, Doni, baru usai memberi makan kambing milik salah satu pengusaha, tempat dia berkerja. Tak jauh dari gubuk reotnya. Sepuluh meter, kira-kira. Istrinya, Dewi, sedang membersihkan gubuk, sembari mengasuh anaknya yang masih batita. Keseharian Doni, hanya memberikan makan Kambing, milik pengusaha. Dirinya hanya buruh lepas. Tidak mendapatkan penghasilan tetap.
Untuk tiba di gubuk reot itu, tidak mudah. Pasalnya, kondisi jalan menuju gubuk reot itu masih dalam keadaan tanah kuning bercampur lumpur. Becek dan berlumpur ketika di landa hujan. Bahkan, jalan setapak itu hanya bisa dilalui satu unik sepeda motor. Gubuk reot yang telah dihuni sejak tiga tahun terakhir tersebut, berada di ujung jalan.
Rumah Doni berdekatan dengan kandang kambing milik salah satu pengusaha. Berbatasan langsung dengan areal persawahan di daerah itu. Jaraknya, sekira 75 meter dari tepi jalan raya. Di gubuk itu hidup sosok Doni, tinggal bersama sang istri bersama anak-anaknya. Gubuk itu terbuat dari papan yang sudah rapuh, tidak layak.
Ukurannya, 4,5 meter x 2,6 meter, kira-kira. Atapnya, terbuat dari daun rambiah, mulai lapuk dan bocor. Tidak ada kemewahan di dalam gubuk tersebut. Bangunan itu pun dapat rubuh seketika, ketika di landa angin kencang. Sebab, kondisi bangunan sudah mulai reot. Ditambah aliran listrik pun belum ada di gubuk, menyedihkan.
Bangunan gubuk itu, bercampur aduk. Kamar tidur, terletak di bagian belakang. Sementara, dapur di bagian depan. Sesak. Tidak ada pembatas yang kokoh. Terlebih, dinding bangunan rumah sudah berlobang, di makan usia. Baik sisi samping kiri, maupun bagian sisi kanan.
Di kamar itu tidak ada alas. Hanya papan serta alas karpet yang sudah lusuh, bau. Di tempat itulah mereka istirahat, tidur. Sekeluarga. Setiap hari. Ketika di landa hujan, kedinginan. Dinding kamar itu sudah berlobang, cukup besar. Miris dan memprihatinkan.
Dari sisi penghasilan, Doni hanya mendapatkan intensif ketika kambing milik salah satu pengusaha itu laku terjual. Sementara kebutuhan sehari-hari selalu mendesak. Untuk itu dirinya hanya bertahan hidup dengan cara seadaanya. Sementara pekerjaan lainnya, hanya mengandalkan ajakan dari teman untuk menjadi buruh bangunan, sesekali.
Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pun, dirinya hanya memanfaatkan tanaman sayuran yang ditanam di sekitar gubuknya. Daun singkong, rimbang, serta dedaunan yang bisa dikonsumsi untuk mengganjal perut. Itu Doni berikan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, istri dan tiga anaknya yang masih bocah. Setiap hari, ketika tidak memiliki uang untuk membeli beras.
Terkadang Doni berserta keluarga mendapatkan belas kasihan dari masyarakat setempat. Begitu juga pengusaha Kambing, tempat dia bekerja. Namun, ketika tidak memiliki uang mereka sekeluarga hanya bertahan dengan makanan seadanya. Pisang rebus, misalnya. Serta sayuran yang bisa dikonsumsi untuk di makan pada hari itu.
"Sejak menikah saya bersama istri tinggal di sini, sejak awal 2016. Dari tahun itu sampai sekarang bangunan rumah kami ini belum ada direhab," kata Doni, saat ditemui Okezone, Jumat (26/10/2018).
Bertahan Hidup, Doni Bersama Keluarga Makan Dedaunan
Sejak menikah, ayah dari tiga orang anak ini tidak mau menyerah begitu saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dia rela menjadi kuli bangunan. Begitu juga dengan istrinya, Dewi. Sebelum memiliki anak batita, Dewi saban hari selalu berkeliling jualan sayur mayur di daerah Kelurahan Dusun Besar.
Namun, anak sejak anak bungsunya, Insan Salamullah (1), lahir, pekerjaan itu Dewi hentikan. Sebab, dirinya musti merawat dan menjaga anaknya yang masih batita tersebut. Sementara, Doni bekerja sebagai perawat hewan ternak, milik salah satu pengusaha. Sesekali, Doni sebagai buruh bangunan. Hal tersebut ketika ada tawaran dari rekan-rekannya.
Kerja serabutan tersebut sama sekali tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan mereka berlima. Sehingga mereka musti bertahan, dengan apa adanya. Memanfaatkan tanaman sayuran di sekitar pekarangan gubuk. Pisang rebus, daun singkong serta dedaunan lainnya yang dapat mengganjal perut.
Kondisi tersebut mereka alami sejak 8 tahun silam, bersama istrinya. Begitu juga ketika buah hati mereka lahir ke dunia. Mereka hanya makan apa yang bisa dimakan.
"Kalau ada uang beli beras. Kalau tidak ada, saya bersama istri dan anak-anak makan sayur-sayuran yang kami tanam di sekitar rumah. Kadang sehari hanya makan pisang rebus, tanpa makan nasi. Sempat juga tidak ada makan nasi selama dua hari, hanya makan sayur-sayuran saja," aku Doni, sembari menggendong anak bungsunya.
Dimasuki ''Tamu Tak Diundang'', Anak Sakit-Sakitan
Kondisi bangunan yang tidak layak huni itu membuat gubuk, Doni acap kali dimasuki ''Tamu Tidak di Undang'' binatang buas. Ular, lipan, contohnya. Kedatangan hewan buas itu terjadi ketika malam hari, saat mereka sekeluarga istirahat. Beruntung mereka tidak sempat menjadi korban kegananasan dari hewan buas tersebut.
Kedatangan hewan buas tersebut, bukan satu atau dua kali. Namun, kondisi tersebut acap kali. Meskipun demikian, setiap hari mereka sekeluarga selalu was-was dan cemas ketika ada hewan buas. terlebih ketika saat istirhat malam.
''Sering masuk ular, lipan juga,'' kata ayah dari Rahman Al Aziz (7).
Perekonomian yang serba kekurangan tersebut, ditambah kondisi rumah yang tidak layak membuat mereka sekeluarga, sering mengalami sakit-sakitan. Terlebih, kepada anak-anaknya yang masih bocah. Kondisi tersebut diperparah dengan belum adanya jaminan kesehatan yang mereka kantongi.
Hari itu, Doni bersama keluarganya baru sehat dari sakit. Mereka hanya berobat di bidan setempat. Bahkan, mereka sempat menahan rasa sakit dengan cara beristirahat, ketika tidak mengantongi uang. Untuk kartu BPJS, hanya dirinya dan sang istri. Sementara, untuk ketiga anaknya sama sekali belum memiliki kartu BPJS.
"Anak saya sering sakit. Saya juga baru sehat, hari ini. Satu keluarga kami sakit," sampai ayah dari tiga orang anak ini.
Terkait hal tersebut, Dinas Sosial Kota Bengkulu, mengecek kondisi gubuk reot milik Doni yang didiami mereka sekeluarga. Hal tersebut disampaikan, Kepala Dinas Sosial Kota Bengkulu, Syahrul Tamzie, Jumat (26/10/2018).
"Kami barusan sudah cek ke lapangan. Kita lihat dahulu langkah-langkah apa yang harus kita upayakan," kata Syahrul.
Sementara itu, Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan mengatakan, pihaknya akan segera meninjau gubuk Doni. "Insya Allah Tim Pemkot Segera ke sana (ke rumah Doni)," sampai Helmi.
(Khafid Mardiyansyah)