KUPANG - Berpakaian rapi, meski tak bersepatu, para penghuni lokasi pemondokan 'Karang Dempel' Tenau Kecamatan Alak, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai mengisi sejumlah kursi yang disediakan di halaman tengah lokasi yang sampai saat ini dikenal sebagai tempat transaksi seks.
Berbanjar empat beratap tenda, para wanita itu duduk menghadap sebuah meja di depannya yang ditempati 5 orang. Ternyata di hari Rabu 14 November 2018 itu sedang dilakukan diskusi tentang penutupan lokasi itu sebagai lokasi transaksi seks. Hadir pada diskusi itu Kepala Dinas Sosial Kota Kupang Felisberto Amaral mewakili Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore yang kabarnya berhalangan hadir. Ada juga Sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Balqis Soaraya Tanof serta sejumlah aktivis perempuan dan para relawan yang saban hari konsen pada kerja-kerja kemanusiaan dan penyadaran bahaya HIV/Aids.
Tak lagi basa basi, Kepala Dinas Sosial Kota Kupang Felisberto Amaral langsung menyampaikan alasan pemerintah menutup lokalisasi itu. Menurut dia, Pemerintah Kota Kupang sudah berkomitmen menutup praktik penjualan seks di lokasi itu karena sejumlah langkah dan prosedur sudah dilakulan.

Lokalisasi Karang Dampel di NTT (Foto: Adi Rianghepat/Okezone)
"Per tanggal 1 Januari 2019 transaksi seks di lokasi ini harus berakhir. Anda-anda silahkan keberatan tapi tak akan mengurungkan komitmen pemerintah untuk menutupnya," kata Felisberto dengan nada tenang.
Dia mengatakan penutupan transaksi seks di lokasi ini atas perintah Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial RI. Pemerintah secara nasional sudah punya komitmen untuk menghapus seluruh lokalisasi dan transaksi seks di negara yang berazas Pancasila ini. Dan karena itu Pemerintah Kota Kupang tak akan lagi membuka ruang bagi dialog untuk membahas hal menutup dan atau tidak menutup.

Diskusi dan Sosialisasi Penutupan Lokalisasi Karang Dampel (Foto: Adi Rianghepat/Okezone)
Secara nasional lanjut dia, masih tersisa 167 tempat transaksi seks di Indonesia. Dari jumlah ini sampai saat ini masih tersisa 14 lokasi dan itu termasuk Karang Dempel di Kota Kupang ini. Karena itulah komitmen Pemerintah Kota Kupang sangat jelas bahwa 2019 daerah ini harus bebas prostitusi.
Pascapenutupan nanti, pemerintah akan langsung melakukan operasi penertiban di sejumlah lokasi yang berpotensi dijadikan tempat transaksi seks. Misalnya di sejumlah hotel kelas melati, tempat pijat tradisional (pitrad), salon dan sejumlah bar dan pub serta karaoke.
"Ini sudah sesuai prosedur dan berdasar pada Peraturan Daerah Kota Kupang nomor 39 tentang Penertiban Tempat Prostitusi. Jadi dipastikan akan dihapus semua praktik ini," katanya. Dia mengatakan aspek moral tak boleh diusik karena moralotas kemanusiaan tak boleh rusak.

Para penjaja seks di Karang Dampel usai hadiri sosialisasi penutupan (Foto: Adi Rianghepat/Okezone)
"Aspek lain seperti ekonomi dan lainnya bisa kita perbaiki namun aspek moral tak akan bisa dan tak boleh dirusak," katanya.
Pemerintah akan memfasilitasi kepulangan para pekerja seks yang berasal dari luar NTT. "Jadi nanti tolong dikasikan alamat yang jelas agar intervensi pemulangan bisa lebih mudah," tambahnya.
Sementara Sosiolog Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang Balqis Soraya Tanof mengungkapkan transaksi seks yang dilakukan di lokalisasi ini hanya karena dorong himpitan dan tekanan ekonomi. Tak ada satu manusia pun di dunia ini yang terlahir ingin digauli dan ditiduri oleh begitu banyak laki-laki. Karena itu penting dibuat sebuah kajian sebelum langkah penutupan dilakukan.

Aktivitas di Lokalisasi Karang Dampel (Foto: Adi Rianghepat/Okezone)
Hasil riset yang dilakukan lanjut dia, secara minor lokalisasi menjadi ajang eksploitasi oleh para germo. Di lokasi ini terjadi eksploitasi tenaga kerja. Bahkan mereka disebut sebagai sampah masyarakat dan sebagian perusak sendi dan norma serta budaya masyarakat. Namun secara positif, hasil riset membuktikan bahwa transaksi seks menjadi salah satu lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu di tengah masyarakat terdapat dua pendapat terkait kebijakan penutupan tempat ini. Ada yang tak setuju karena akan membuka peluang praktik terselebung dan menjadi pemicu penyebaran penyakit termasuk HIV dan Aids. Ada kelompok maayarakat yang setuju demi membersihkan moralitas dan menjaga dampak buruk dari praktik ini. Dan olehnya jika harus ditutup maka harus ada pemulihan nama baik melalui rehabilitasi dan resosiisasi di masyarakat serta permodalan untuk bisa menata ekonomi produktif ke depan.
Hal berbeda diungkap seorang aktivis dan anggota Forum Academia NTT Gusti Brewon. Menurut dia jika ditutup maka pemerintah sedang merakit sebuah bom waktu di Kota Kupang ini. Karena praktik ini akan sulit terkontrol. Karena itu dia meminta pemerintah untuk melakukan penundaan atas kebijakan ini. Jika pemerintah merasa penutupan menjadi mutlak maka harus ditunjukan alasannya yang jelas dan tidak hanya mendasarkannya pada akibat HIV dan Aidsnya.
Menurut Gusti, dari data jumlah pengidap HIV dan Aids di NTT sebanyak 5.000 lebih itu di Kota Kupang berada di angka 1.000. Dari jumlah itu, prosentase pengidap dari golongan pekerja seks hanya berjumlah 10 % saja. Selebihnya justru berasal dari profesi lain.
"Bahkan yang berprofesi sebagai ASN alias PNS jauh lebih besar prosentasenya," katanya.
Itu artinya alasan bahwa lokalisasi menjadi sarang dan bahkan penyumbang penyakit HIV dan Aids tak terbukti. Karena itu pemerintah wajib mengkaji lagi dasar pertimbangan penutupan tempat ini. Hal lain yang berkaitan dengan moralitas, kata Gusti tak bisa dipakai sebagai alasan. Halnitu karena tak ada takar dan timbang soal besar dan kecilnya sebuah moral.
"Berapa sih takar moral mereka yang menolak hal ini ada dan mereka yang saat ini menghuni pemondokan ini," katanya dengan nada tanya.
Dia bahkan mendesak Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore untuk mengurus hal-hal lain yang lebih besar berkaitan dengan hajat hidup masyarakat Kota Kupang. "Ya saya kira wali kota sebaiknya urus saja air minum dengan PDAM dari pada mengutus air mani," katanya.
Seorang penghuni Karang Dempel sebut saja Nona mengaku tak berdaya dengan kebijakan pemerintah ini. Jika memang harus ditutup maka dia hanya bisa pasra.
"Saya bekerja seperti ini hanya untuk biayai anak sekolah. Saya tak bisa kerja lain selain ini. Jika memang harus tutup ya saya iklas saja," katanya.
Karang Dempel yang saat ini dijadikan sebagai lokasi transaksi seks sudah berdiri sejak 1978 silam. Saat itu lokasinya masih sangat sepi dan jauh dari permukiman warga. Dalam perjalanan perkembangan kota derah itu sudah berubah menjadi perkampungan padat penduduk.
Bahkan saat ini lokasi itu menjadi salah satu sentra perdagangan dan bisnis Kota Kupang. Pada lahan seluas 18 ribu meter persegi ada terdapat empat pemondokan yang dijadikan sebagai tempat transaksi seks. Di empat pemondokan itu sampai saat ini dihuni sebanyak 145 perempuan penjaja seks. Dari jumlah itu sebagian besar berasal dari Pulau Jawa dan pulau-pulau lain luar NTT.

Setidaknya dengan banyak pendapat ini bisa memberi dasar pijak yang bijaksana bagi pemerintah untuk mengambil putusan yang baik bagi semua alias bonum comune. Karena apapun alasan dan apapun pekerjaannya, para perempuan itu adalah manusia yang patut mendapat tempat layak sejajar dengan manusia lain di konteks perlakuannya. Simalakama setidaknya bisa teratasi bagi sebuah penghargaan kemanusiaan manusia itu.
(Khafid Mardiyansyah)