Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Satir Politik, Ironi Ruang Publik Pemilu

Opini , Jurnalis-Rabu, 16 Januari 2019 |14:16 WIB
Satir Politik, Ironi Ruang Publik Pemilu
Anggota KPU Jawa Barat, Idham Holik (foto: ist)
A
A
A

Berdasarkan hasil penelitian, Hoon Lee (2012) mendapati bahwa tayangan komedi larut malam sebagai humor satir secara tidak langsung memacu partisipasi politik melalui saluran pembicaraan antarpribadi tentang politik dan bahkan dapat menarik tingkat keterlibatan politik yang lebih tinggi dari mereka yang berpendidikan tinggi. Temuan penelitian ini berkontribusi pada pemahaman kita tentang kerja kolaboratif media massa dan komunikasi interpersonal dalam mendorong partisipasi politik.

Kedua temuan riset tersebut di atas berbeda dengan hasil riset Jody C. Baumgartner dan Jonathan S. Morris (2006) yang mengemukaan bahwa penonton televisi yang terpapar tayangan lelucon George W. Bush dan Jhon Kerry di The Daily Show cendrung menilai kedua kandidat lebih negatif dan menunjukan sinisme yang berlebihan terhadap sistem Pemilu dan media berita pada umumnya.

Temuan Baumgartner dan Morris (2006) tersebut yang sangat memprihatinkan. Di sisi lain, temuan riset Hsuan-Ting Chen, Chen Gan, & Ping Sun (2017) menyatakan berbeda dimana ketika sindiran politik dianggap penting secara personal dan membangkitkan kemarahan. Satir politik menjadi faktor pendorong (a motivating factor) yang mengubah seseorang menjadi warga negara aktif.

Mencermati peredaran satir politik dalam Pemilu 2019, konten satir politik didominasi dengan argumentasi fallacy (sesat nalar) dan disinformasi. Satir politik yang demikian tentunya dapat mengukuhkan politik pasca-kebenaran (post-truth politics) atau dunia pasca-fakta (post-fact world). Dengan dikesampingkannya kebenaran dan rasionalitas, tentunya politik pasca-kebenaran tersebut tidak baik untuk Pemilu 2019 dengan semangat demokrasi rasional.

Dengan jelas, Penjelasan UU No. 7 Tahun 2019 tentang Pemilu mendeskripsikan bahwa Pemilu legislatif ditujuan untuk menjamin prinsip keterwakilan dimana para legislator terpilih nanti diharapkan dapat menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan dengan menjalan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal.

Satir politik yang sering kali membuat pemilih mengalami disorientasi politik selama pemilu dikhawatirkan dapat memelihara budaya politik yang tidak baik, yaitu berdampak pada tertahannya peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Pada awal Januari 2019, Unit Intelijen majalah The Economist telah merilis Indeks Demokrasi 2018 dimana dari 167 negara di dunia, Indonesia berada di peringkat 65 dengan nilai 6,39 dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracy).

Menurut The Economist, demokrasi cacat (flawed democracy) adalah negara-negara di mana pemilu bersifat adil dan bebas dan kebebasan sipil dasar dihormati, tetapi memiliki masalah seperti budaya politik yang kurang berkembang, tingkat partisipasi yang rendah dalam politik, dan masalah dalam fungsi pemerintahan.

Meningkatkan nilai indeks demokrasi menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia, butuh komitmen semua pihak untuk mengembangkan budaya politik yang rasional. Mengapa demikian, karena di tahun 2018, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura di peringkat 66 dengan nilai 6,38, Malaysia di peringkat 52 dengan nilai 6,88, dan Filipina di peringkat 53 dengan nilai 6,71.

Partisipasi rasional pemilih dalam Pemilu harus ditumbuh-kembangkan melalui dialog kristis di ruang publik baik media lama (media massa) ataupun media baru (internet), khususnya media sosial. Melalui internet, kini komunikasi politik interaktif dan tanpa dibatasi ruang-dan-waktu antara pemilih dengan para peserta pemilu sangat memungkinkan sekali.

Jangan sampai demokrasi elektoral Indonesia di era masyarakat jaringan (network society) mengalami seperti apa yang dikemukakan oleh Robert W.McChesney (2000) yaitu rich media, poor democracy. Menjadi ironis, ketika pemilih dibanjiri informasi politik melalui internet, tetapi kualitas demokrasinya rendah sekali.

Satir Politik sebagai Stimulator Dialog Kritis

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement