AWAL 2019, lanskap komunikasi politik terisi tidak sekedar memanasnya “perang” retorika politik, tetapi munculnya berbagai satir politik. Misalnya capres-cawapres fiktif “Nuradi-Aldo” yang diusung oleh Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik. Dalam dua minggu setelah dirilis, akun media sosial “Nuradi-Aldo memiliki puluhan ribu pertemanan –81.000 teman di Facebook, 18.600 follower di Twitter, dan 73.000 follower di Instagram (bbc.com, 4/1/2019).
Sigit Pamungkas, Direktur Netgrit (Network for Democracy and Electoral Integrity), mengemukakan bahwa fenomena ini bukan hal baru dalam politik elektoral di Indonesia dan satir politik ini menjadi pertanda kejenuhan politik masyarakat (akurat.co, 5/1/2019). Di tengah atmosfir politik elektoral yang menjenuhkan, satir politik dapat dengan mudah diterima publik, karena mampu menghibur mereka.
Tentunya, tidak hanya di Pemilu di Indonesia. Fenomena satir politik juga berkembang di Pemilu di berbagai negara di dunia, misalnya Amerika Serikat, Rusia, dan lain sebagainya. Satir politik selalu ada di setiap Pemilu –bahkan satir politik sudah ada sejak awal munculnya sistem politik demokrasi itu sendiri di dunia. Satir politik seusia sistem politik demokrasi.
Di Amerika Serikat, pencalonan Donald Trump dalam Pemilu 2016 telah menciptakan menjamurnya (a huge windfall) penulis komedi, kartunis, dan konten satir –dan terus berlanjut pada masa kepresidenannya saat ini. Mengapa demikian? Para ahli mengemukakan, karena Trump memang unik di antara presiden-presiden AS modern.
Profil dan gaya komunikasi politik Trump telah merangsang bermunculannya konten satir (satirical content) di media. Politik Amerika selalu baik untuk berkembangnya bisnis komedi (the comedy business), yang berawal dari George Washington dan berlanjut dengan kebangkitan kartun politik pada Abad ke-19 hingga tayangan komedia The Daily Show (Spangler, 2017).
Gaya komunikasi politik dan personalitas kandidat yang unik serta visi politik kandidat yang dipandang oleh publik aneh atau menentang arus utama wacana demokrasi dalam Pemilu telah memicu berkembangnya satir politik dalam ruang publik Pemilu (electoral public sphere).
Satir sebagai Partisipasi Politik
Dalam politik elektoral, satir politik dapat dipandang sebagai kaunter-wacana (counter-discourse). Misalnya menurut timnya, capres-cawapres fiktif “Nuradi-Aldo” merupakan ekspresi protes politik atas maraknya kampanye hitam dan menurut mereka, satir politik ini bertujuan meredam dampak negatif konflik horizontal antar dua kubu masyarakat dalam Pemilu 2019.
Sebagai bentuk kritik politik berorientasi-hiburan, satir politik telah lama menarik perhatian keilmuan (scholarly attention) dalam hal apakah ini dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi publik berpartisipasi politik. Ada banyak temuan riset di berbagai perguruan tinggi di berbagai negara membuktikan hal ini.
Dalam tesisnya di Universitas Massey, Selandia Baru, Sarah Austen-Smith (2017) menjelaskan bahwa generasi millennial tidak suka memproduksi kolom di media untuk dibaca dan direspon oleh khalayak pembaca, tetapi mereka menciptakan konten satir. Millenial telah menjadikan satir politik sebagai senjata pilihan (weapon of choice) untuk memperjuangkan kepentingan publik. Satir politik dijadikan sebagai piranti partisipasi warga (civic participation).