JAKARTA - Kesepakatan Mutual Legal Assitance (MLA) atau perjanjian bantuan hukum timbal balik antara pemerintah Indonesia dengan Swiss dinilai semakin memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, dianggap telah mengambil langkah progresif untuk upaya memberantas korupsi. Bahkan, hal itu disambut baik oleh sejumlah kalangan, baik akademisi, Dewan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ini sebuah langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi. Sangat maju. Apalagi kerja sama dengan Swiss itu luar biasa. Saya rasa luar biasa ini pemerintahan Jokowi. Karena dengan Swiss itu kita sudah lama ingin kerja sama, enggak bisa," kata Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih saat dikonfirmasi, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Yenti menjelaskan, langkah tepat pemerintah dalam hal ini lantaran adanya kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Swiss adalah tentang pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana.
Baca Juga: Pemerintah Teken MLA dengan Swiss, Akuntabilitas Jokowi-JK Dianggap Membaik
Selain Swiss dan UEA, Pemerintah Indonesia juga memiliki perjanjian kerja sama dengan Asean, Korsel Australia, Hong Kong, Cina, India, Vietnam, dan Iran.
Di sisi lain, Yenti menyebut, Negara Swiss selama ini sering menjadi target para pelaku kejahatan, termasuk kejahatan korupsi untuk menyimpan uang hasil kejahatan mereka. Karena itu menurutnya keberhasilan dalam menjalin kerja sama MLA dengan negara tersebut patut diapresiasi.
“Ini prestasi. Tolong jangan dikaitkan dengan Pilpres. Ini kan sudah jadi cita-cita bangsa sejak lama. Ketika kita angka korupsinya tinggi, kita ingin sekali kerja sama MLA, nah sekarang sudah ada, bagus,” tutur mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK itu.
Baca Juga: Di Acara Tanwir Muhammadiyah, Jokowi Beberkan Alasannya Gencar Bangun Jalan Tol
Terkait hal ini, KPK juga memberikan apresiasi. Lembaga antirasuah menilai bahwa kerjasama itu bisa mempersempit ruang pelaku korupsi untuk menyembunyikan kejahatannya.
"Selain adanya Perjanjian MLA, kapasitas penegak hukum juga sangat penting, karena proses identifikasi mulai penyelidikan hingga penuntutan sangat penting untuk bisa menemukan adanya alat bukti atau hasil kejahatan yang berada di luar negeri," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Febru menyebut, kesepakatan itu berperan strategis dalam mendukung penanganan tindak kejahatan, seperti korupsi. Dia berpendapat, kesepakatan ini bisa mempersempit para pelaku yang gemar menyembunyikan asetnya di luar negeri.
Dengan begitu perjanjian MLA ini bisa memudahkan KPK menangani kejahatan korupsi transnasional agar aset hasil kejahatan pelaku bisa terlacak.
Sebelumnya, Menteri Yasonna menyatakan bahwa perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud), serta menjadi bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
“Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," ungkap Yasonna.
(Edi Hidayat)