JAKARTA - Desas-desus posisi Kiai Ma’ruf bakal diganti Basuki Tjahaja Purnama (BTP) tiba-tiba saja meruyak menjadi rumor politik di media sosial.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Maruf Amin, Abdul Kadir Karding menyebut sebagai rumor. Karena dinilai tidak jelas asal mula isu itu berhembus dan entah apa tujuannya.
"Saya menduga rumor itu sengaja dihembuskan lawan politik sebagai plot untuk membikin warga Nahdliyin gelisah. Psikologi kaum Nahdliyin diusik seolah-olah bakal ada upaya "mengkudeta" kiai mereka. Jadi ketimbang kiai dizolimi saat sudah menjadi wapres lebih baik tidak usah dipilih sekalian," kata Karding, Jumat 15 Februari 2019.
Karding memastikan ada upaya mencopot atau menghentikan kiai Maruf sebagai wakil presiden apabila memenangi Pilpres 2019 nyaris tak bisa dilakukan. Kendalanya bukan saja ada pada ranah politik tapi juga hukum.
"Dari sisi politik. ia jelas tak mungkin dilakukan karena saat kekuataan partai politik pemerintah berjumlah mayoritas. Sehingga usaha menggeser Kiai Maruf akan mendapat tentangan dari partai-partai politik pengusungnya di Pilpres 2019 yang berjumlah sembilan partai," kata Karding.
Baca Juga: Penjelasan Indopos terkait Berita "Ahok Gantikan Ma'ruf Amin?"

Lebih lanjut Karding menjelaskan, mengacu pada UUD 1945 Pasal 7A dan 7B ayat 1 sampai ayat 7 menerangkan betapa ruwet dan rumitnya usaha untuk memberhentikan seorang presiden dan atau wakil presiden.
Pasal 7A UUD 1925 menyatakan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
"Namun berdasarkan Pasal 7B ayat 1 sebelum mengajukan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden ke MPR, DPR harus lebih dahulu mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus apakah seorang presiden atau wakil presiden benar melakukan pelanggaran hukum atau tidak," kata Karding.