Mereka nyaris tidak punya materi hanya mengandalkan tagar, tambahnya. Namun, cara ini disebutnya justru menjadi kekuatan pendukung 02, sehingga mereka tampak lebih riuh di dunia maya.
"Membahas apapun tinggal ditambah tagar itu," ujar Ismail.
'Terlalu banyak materi yang diproduksi'
Sebaliknya pada kubu 01, terlalu banyak materi yang diproduksi, sehingga kata Ismail, timnya kewalahan untuk menyebarkannya dan menjadikannya viral.
Menurutnya, kondisi ini kadang diatasi dengan menggunakan akun robot. "Setelah trending baru orang-orang pendukung ngikut," katanya.
Tentang isu yang diangkat menurut Ismail, berdasarkan risetnya terhadap trending dalam tiga bulan terakhir, kubu Prabowo sudah meninggalkan isu anti-Islam, PKI, Pro-Tionghhoa, dan kriminalisasi ulama.
Namun, perbincangan yang sama tetap digunakan oleh kubu Jokowi, dengan tujuan untuk membantah isu tudingan tersebut. Kubu 02, kata dia, 'menyerang' Joko Widodo dengan diksi "janji" dan "bohong".
Menurutnya, kedua diksi itu mendominasi 50% perbincangan pendukung Prabowo Sandi di media sosial. "Maknanya kan soal kinerja, Pada saat 2014 menjanjikan sesuatu hasilnya bagaimana?" kata Ismail.
Berikutnya adalah isu tentang tenaga kerja Cina yang terus digaungkan. Ia menduga isu yang sama akan tetap diangkat sampai Pilpres tiba.
Sementara kubu 01 masih akan menggunakan narasi melawan hoaks dan fitnah, katanya. Dikatakannya, isu HAM yang menjadi kelemahan kubu 02 bahkan kurang tersiar di publik akibat pilihan narasi melawan hoaks yang terus dipertahankan kubu Jokowi.
Apakah perang di jagad maya berdampak pada elektoral?
Direktur Bidang Media dan Komunikasi Tim Prabowo, Sandy Anthony Leong, menyebut makin banyak akar rumput yang teredukasi tentang calon pemimpin yang mereka jagokan Prabowo-Sandi di media sosial.
"Pilpres 2019 ini masyarakat makin dewasa," katanya.
Sementara, Direktur Media Sosial Tim Kampanye Nasional dari calon presiden 02 Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga, menyebut kampanye media sosial telah membantu kerja tim kampanye, khususnya sebelum jadwal kampanye terbuka dalam rapat-rapat umum dan kampanye media masa.
"Kita mengejar 60-70% di sosial media, sebelum kampanye terbuka," katanya.

TKN mengaku tim memiliki sarana untuk mengukur tanggapan positif terhadap Jokowi. "Kita juga mengukur kalau Jokowi bicara program, tanggapan positif atau negatif," lanjutnya.
Namun, Arya mengakui kini pengaruhnya makin menipis karena sudah mendekati angka kestabilan. "Awal-awal kenaikan sangat tinggi, sekarang mendapat kenaikan 1% beratnya bukan main," tuturnya.
Arya mencontohkan kampanye media sosial dengam #Jokowi mencintaAceh misalnya, paling banter menaikkan 0,1 persen.
'Narasi yang dikembangkan tak mengubah pilihan orang'
Peneliti Lembaga SMRC Saidiman Ahmad berpendapat peran buzzer tidak terlalu besar mendulang suara.
"Buzzer paling banyak di Twitter, penggunanya 5% dari populasi, jadi ya scope-nya hanya di 5% itu," katanya.
Media sosial lain seperti Whatsap dan Facebook juga diyakini Saidiman tidak banyak berpengaruh. Katanya, yang menjadi follower para buzzer dan memperbincangkan isu serta percaya pada isu adalah para pendukung.
Artinya, narasi yang dimainkan tidak mengubah pilihan orang. Para buzzer bergerak di ruang terbatas. "Mereka berbicara di kalangan audiens-nya sendiri."
Saidiman mencontohkan bukti partai yang paling riuh di twitter dan media sosial lain, seperti PSI dan PKS, tapi berdasarkan hasil survei di lapangan suaranya rendah.
Di Pilpres, kampanye media sosial kelompok 02 lebih riuh, namun dalam survei hasilnya kubu 01 lebih unggul.
"Ada pengaruh tapi tidak sebesar yang dibayangkan orang," kata Saidiman Ahmad.
(Arief Setyadi )