JAYAPURA - Mendi Wonda, anak asli Distrik Tinggi Nambut Kabupaten Puncak Jaya kelahiran Puncak Jaya 22 Maret 2002 ini kini telah masuk di jenjang SMA di sekolah Stella Duce 3 Yogjakarta.
Mendi begitu dipanggil, adalah anak dari seorang pendeta sekaligus kepala suku Dani di wilayah Kabupaten Puncak Jaya. Pendeta Mekius Wonda, dan mama Elipina Tabung adalah orangtuanya.
Untuk bisa bersekolah di Yogjakarta, bukan hal serta merta terjadi, namun melalui kisah menyentuh yang juga dipercaya atas campur tangan Tuhan.
Selepas pulang sekolah, sekitar pukul 15.30 WIB, tepatnya Kamis 24 Juli sore kemarin, Mendi menceritakan kisahnya kepada Okezone. Bermula kala 1 Desember 2014 silam. Mendi kecil saat itu masih bersekolah SD di Mulia. Mendi mengaku tinggal bersama seorang anggota Polisi ajudan Kapolres Puncak Jaya, AKBP Marcelis.
Saat itu Mendi, selepas turun dari hutan, dikatakan saat hari libur. Mendi bertemu dengan Direktur Intel Polda Papua, Kombes Polisi Yakobus Marjuki, yang kini telah menjabat Wakapolda Papua, dengan pangkat Bintang satu atau Brigjen Polisi. Melihat bapak Yakobus, yang dikatakan akan naik ke Distrik Tinggi Nambut, Mendi kemudian memperingatkannya untuk tidak melanjutkan perjalanannya.
Pasalnya kata Mendi, Di Tinggi Nambut kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) tengah bersiap melakukan upacara bendera 1 Desember dan melakukan penembakan kepada aparat.
"Saya kan pagi-pagi masuk hutan, itu pulang sekitar jam 2 siang, saya melihat ada KKSB yang bilangnya mau lakukan penembakan kepada Polisi. Jadi itu yang saya kasih tau ke bapak Marjuki," kata Mendi.
Baca Juga: Baku Tembak dengan KKSB di Papua: Kalau Perang Terus, Korban Berjatuhan
Atas informasi yang disampaikan itu, Mendi mengaku bapak Marjuki dan rombongan membatalkan rencananya ke Tinggi Nambut, lalu mengajaknya ke rumah dinas Bupati Kabupaten Puncak Jaya yang dijadikan tempat menginap Bapak Marjuki. Sementara Bupati Henock Ibo kala itu, memilih tinggal di rumahya sendiri di Guest House.
Dirinya tidak menyangka, atas apa yang dilakukannya itu dengan menyampaikan akan adanya penembakan kepada Bapak Marjuki dan rombongannya jika ke Tinggi Nambut, menjadi awal dirinya meraih asa menggapai cita-citanya.
Bapak Marjuki begitu dia menyapa, menawarinya untuk bersekolah di Yogyakarta, tempat mantan Direktur Intel ini berdomisili.
Atas tawaran itu, dirinya mengaku bingung bercampur senang. Bingung lantaran dia tidak mengetahui di mana Yogyakarta yang dimaksud bapak Marjuki, sementara yang diketahuinya hanya ibu Kota Jakarta.
Atas ajakan itu, dirinya menyampaikan ke orangtuanya, Mendi mengaku kedua orang tuanya sempat tidak mengizinkannya untuk bersekolah keluar daerah, terlebih di Yogyakarta. Namun kata dia, berkat penjelasan sang kaka yang menjadi Praja di IPDN, membuat orangtua akhirnya mengizinkannya sekolah ke Yogyakarta ikut ajakan Wakapolda Papua itu.
"Orangtua saya akhirnya kasih izin saya ikut bapak Marjuki. Saya ingat dibuat pernyataan untuk melepas saya itu. Itu ditandatangani bapak Bupati dan Wakil Bupati Puncak Jaya," ungkapnya.
Beberapa hari kemudian, dirinya terbang ke Jayapura menggunakan pesawat Susi Air. Diakui Mendi, dirinya sendirian terbang kala itu. Namun tekad bulat untuk bersekolah demi kehidupan yang lebih baik membuat dia berkuat hati untuk berangkat.
Sesampainya di Jayapura, dia dijemput ibu Marjuki. Kaget bercampur bingung dan takut, karena dirinya dijemput dengan pengawalan polisi.
"Ada mobil yang wiu wiu (sirine), itu saya kaget, saya fikir saya mau ditangkap dan dipenjara, saya bilang jangan penjarakan saya. Tapi kemudian ada ibu-ibu yang sangat cantik sekali, itu ternyata ibu Marjuki yang menjemput saya. Lalu saya dibawa keliling dan makan sate, di situ saya makan banyak sekali. Sate di Jayapura murah, kalau di Mulia mahal, 50 ribu satu porsi," katanya.
Waktu berlalu, hingga tibalah dia berangkat ke Yogyakarta. Mendi kemudian didaftarkan bersekolah di sekolah sekitar kediaman Wakapolda, di Bantul. Pertama Mendi sekolah di SMP Kanisius Ganjuran. Kemudian melanjutkan di sekolah Stella Duce 3, hingga jenjang SMA saat ini.
Atas fisik yang cukup baik, dan hobinya bermain sepak bola, Mendi kemudian diajak membuat tim sepakbola di Kampung tempatnya tinggalnya. Club Sam Sumber Agung, adalah club awal yang membawanya hingga kini dia diterima masuk Club Persiba Bantul U-17.
"Jadi dari tim itu, kita lawan Persiba U16, dan kita memang 2-0. Lalu mereka yang saat itu sementara mencari pemain, mereka tawari saya bergabung ke Persiba," katanya.

Perjalanan persepakbolaan sang anak Dani ini terus bergulir mulus. Di Persiba dirinya terus menjadi sorotan atas kepiawaiannya menggojek si kulit bundar. Bahkan sekarang tak hanya U-16 lagi, namun Mendi telah lolos seleksi ke U-17, dan saat ini intens latihan memperkuat Persiba Bantul.
Mendi sejatinya bercita-cita menjadi Taruna Akademi Kepolisian (Akpol). Keinginannya itu, muncul setelah memiliki pengalaman hidup bersama para anggota Kepolisian, baik sejak di Mulia maupun bersama Wakapolda Papua.
"Saya sekarang tinggi sudah 172, saya rajin olah raga, angkat badan, lari dan lainnya. Ini juga pesan bapak Yakobus Marjuki kepada saya, agar saya giat latihan dan olahraga. Saya juga tidak minum alkohol, jadi saya fokus belajar dan olahraga. Saya tidak akan kecewakan bapak Yakobus Marjuki dan ibu, serta kedua orangtua saya di kampung. Saya ingin masuk Akpol," ucapnya.
Mendi mengaku di SMA Stella Douz 3 saat kenaikan kelas, dirinya mampu memperoleh rangking 8. Diakuinya, rangking itu sangat tidak disangkanya, pasalnya biasa hanya mampu pada urutan 15 keatas, bahkan di jenjang sebelumnya, meraih peringkat sangat sulit dicapainya.
"Saya tidak sangka, kalau saya bisa dapat rangking 8. Memang kemarin saya giat belajar, ditambah ikut les," katanya.
Mendi terus menunjukkan prestasi, tak hanya dibidang sepakbola, dirinya juga lolos seleksi tim Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Kabupaten Bantul Jogjakarta. Seleksi ketat yang diadakan awal Juni lalu di Stadion Sultan Agung Bantul itu, mampu dilaluinya dengan baik, hingga berhasil lolos seleksi. Dari 5 (lima) orang siswa perwakilan SMA Stella Duce 3 , hanya dua siswa yang lolos.
"Saya terpilih kaka, saya lima orang saat seleksi, dan yang lolos, hanya saya dan adik kelas perempuan," ucapnya bangga.
Meski Mendi kini tinggal jauh dari orangtua, dia tidak lantas melupakan keluarganya di Mulia. Diakui Mendi, dia kerap menghubungi orang tuanya. Meski terkadang tidak terhubung akibat sulitnya jaringan telepon seluler di kampung.
"Saya selalu rindu orang tua dikampung, kadang saya tinggal miscall-miscall, karena sinyal tidak ada di sana. Nanti kalau orang tua naik gunung atau ke kota Mulia baru bisa telfon. Ya saya berharap dan selalu berdo'a, kedua orang tua saya sehat selalu," ucapnya.
Di akhir cerita itu, Mendi sangat berharap pendidikan di Wilayah pegunungan Papua semisal di Puncak Jaya bisa lebih baik. Termasuk adanya pejabat atau orang tua asuh yang ingin mengadopsi anak-anak Papua untuk bersekolah diluar Papua.
"Saya harap bapak Jokowi bisa ke Mulia, bisa memperhatikan pendidikan disana, yang saya bilang jauh dari standar. Saya harap ada orang tua asuh seperti bapak Yakobus Marjuki dan ibu yang mau mengasuh anak-anak Papua dan membawanya bersekolah diluar Papua. Saya sangat berterimakasih kepada bapak Yakobus Marjuki dan ibu yang telah membawa saya untuk bersekolah disini,"tutupnya.
Sosok Mendi dimata Wakapolda Papua, Brigjen Polisi Yakobus Marjuki. Setelah bertekad menjadikan Mendi Wonda sebagai anak asuh, Wakapolda Papua, Brigjen Polisi Yakobus Marjuki pun turut bangga dengan prestasi yang ditampilkan sang anak Dani, Mendi Wonda.
Meski sosialisasi Mendi ke Yogyakarta dinilai sangat berat, namun tekad bulat menggapai cita-cita Mendi, membuat sang Jenderal tak patah arang.
Awal mula hijrah dari Mulia ke Yogyakarta dan masuk ke SMP Kanisius Ganjuran Bantul, diakui Marjuki sangat berat untuk Mendi. Bahkan nilainya kala itu diakui jauh dibawah rata-rata disekolah itu. Bahkan Mendi sempat tahan kelas.
"Saya sampaikan ke gurunya, ya pakai hatilah, karena kalau monoton dengan pendidikan, maka akan susah. Dengan pengertian guru, maka Mendi bisa naik kelas, selesai dan lulus," ucapnya.
Dikatakan Yakobus, selepas jenjang SMP, Mendi anak suku Dani ini menunjukkan prestasi yang luar biasa. Nilainya naik drastis dan mendapat peringkat kelas. Dikatakan, nilai Mendi di atas 7(tujuh) hampir semua mata pelajaran.
Wakapolda, juga tidak membatasi aktifitas Mendi, sepanjang positif dan baik untuk mengeksplor bakat dirinya. Masuk dalam Club Persiba Bantul, membuat Yakobus Marjuki terbentang.
"Saya akui fisiknya, tekadnya juga sangat kuat untuk memperoleh sesuatu. Ini dia masuk Club Persiba Bantul U-17, dan kami bangga dengan itu," kata Yakobus.
Namun, Yakobus tetap mengajarkan Mendi untuk hidup disiplin termasuk giat belajar untuk prestasi. Tanpa itu, cita-cita mesuk ke Akademi Kepolisian akan sulit.
"Ya saya tetap ajarkan kedisiplinan kepadanya. Memang butuh waktu untuk ajarkan disiplin itu, namun saya katakan, untuk jadi Akpol harus disiplin dan berprestasi," kata Marjuki.
Diakui Marzuki, dirinya sangat bangga dengan Mendi, harapannya untuk bisa menyekolahkan anak asli suku Dani bisa tercapai. Meski diakui banyak juga kendala yang harus dilalui.
"Ya karakter itu susah dihilangkan, namun itu dimaklumi, sosialisasinya dia sangat sulit, namun lama kelamaan bisa berbaur, bahkan sekarang bahasa jawanya kalah saya. Saya sangat bangga, saya tidak membatasi dia untuk hal positif, dia juga bergaul dengan sesama warga dari pegunungan yang di Jogja,"katanya.
Dirinya juga berharap, pejabat di Papua bisa mengangkat anak asuh, sama halnya yang dia lakukan. Tujuannya, untuk memperbaiki kualitas kehidupan warga Papua utamanya di Pegunungan.
"Saya fikir pola ini sangat baik. Ya pejabat kalau bisa angkat anak asuh, dan sekolahkan, supaya benar-benar jadi. Karena kita tahu sendiri, kondisi membuat kualitas pendidikan kita di Pegunungan masih sangat minim dari kata standar," ucapnya.
(Khafid Mardiyansyah)