REVISI Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi (KPK) sudah disetujui seluruh fraksi partai politik di DPR RI pada Kamis 5 September 2019. Kendati, rencana revisi undang-undang itu sejak awal digulirkan sudah menuai pro kontra.
Suara pro dan kontra berseliweran di lini massa. Mereka ada yang menilai revisi UU KPK sebagai upaya untuk menguatkan lembaga antikorupsi itu dalam memberantas para pencuri uang negara. Sebaliknya, yang menolak menduga ada niat terselubung untuk melemahkan.
Revisi UU KPK merupakan usulan DPR RI, mereka yang mendorong berlatar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golkar. Semuanya adalah partai politik pendukung pemerintah.
Nama wakil rakyatnya adalah Pasaribu dan Risa Marisa dari PDIP; Teuku Taufiqulhadi dari Partai Nasdem, Saiful Bahri dari Partai Golkar. Mereka anggota Komisi III. Kemudian, Ibnu Multazam anggota Komisi IV dari PKB dan Ahmad Baidowi Komisi II dari PPP.
"Sekarang saya dan beberapa teman-teman saya kembali mengusulkan itu (3 September). Nah, kemudian menjadi usulan inisiatif Baleg. Diambil oleh institusi Baleg," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 6 September 2019.
Baca Juga: Komisi III DPR: Revisi UU untuk Memperkuat KPK, Bukan Melemahkan!
Menurutnya, revisi ini bukan muncul mendadak, namun usulan yang sudah mencuat beberapa tahun lalu. Ia pun memastikan revisi UU KPK untuk menguatkan bukan melemahkan.
Partainya ditarik dalam pusaran revisi UU KPK, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ikut angkat bicara, bahwa ia meyakini kalau revisi UU KPK mengusung semangat untuk memperbaiki kinerja KPK selaras dengan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami melihat usulan revisi UU KPK semangatnya untuk memperbaiki kinerja KPK," kata Hasto.
Nada dukungan juga terlontar dari Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, yang mengatakan UU KPK sudah waktunya dievaluasi. Ia mengganggap perlu ada pengawas terhadap KPK, karena ada kesan yang timbul KPK menjadi lembaga yang tidak bisa dikontrol dan itu juga datang dari usulan era Plt Pimpinan Taufiequrahman Ruki.
"Soal pengawasan (Dewan Pengawas), soal SP3 ya mungkin itu kendala selama ini dihadapi KPK, oleh karena itu Plt KPK kemarin Pak Ruki dan kawan kawan itu mengusulkan seperti itu," ujarnya.
Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR senada dengan Nasir, kalau tak ada operasi senyap dalam revisi UU KPK karena usulan itu datang dari berbagai pihak. Soal SP3 hingga perlu adanya pengawas menjadi sorotannya, karena ia melihat banyak kasus yang mangkrak di KPK.
"KPK enggak ada pengawas. Kan kita sudah tahu banyak sekali akibatnya, pelanggaran yang kita terpaksa tutup karena KPK dianggap holy law, dianggap enggak boleh salah, harus dianggap suci, kalau mulai dianggap kotor, nanti orang enggak takut, dianggapnya begitu," kata Fahri di Jakarta, Jumat 6 September 2019.
Sedangkan Pakar hukum Prof Romli Atmasasmita menilai revisi UU KPK telah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis, dan komparatif. Perjalanan KPK selama 17 tahun terutama sejak KPK Jilid III telah menyimpang dari tujuan awal pembentukan KPK, yaitu memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan.
"Tujuannya pengembalian kerugian negara secara maksimal, serta melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan," kata Prof Romli, Senin 9 September 2019.
Kemudian, pertimbangan sosiologis, dukungan masyarakat terhadap KPK diakui tetap stabil walaupun tidak pada semua level birokrasi dan lapisan masyarakat. Adanya pro dan kontra Revisi UU KPK membuktikan bahwa secara sosiologis KPK tidak lagi memperoleh legitimasi yang kokoh, secara total dari seluruh masyarakat. Dukungan masyarakat berbeda ketika pembentukan awal KPK.
Poin Pelemahan KPK
Mereka yang menolak bersuara, mulai dari Wadah Pegawai KPK, para organisasi pegiat antikorupsi hingga para pimpinan KPK. Bahkan, ada yang sampai menggelar aksi dengan menekankan terdapat sejumlah pasal di revisi UU KPK yang bakal mempreteli lembaga antikorupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo membeberkan ada sembilan poin dalam revisi UU KPK yang melemahkan KPK. "Terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang beresiko melumpuhkan kerja KPK," kata Agus di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis 5 September 2019.
Poin tersebut adalah independensi KPK terancam; penyadapan dipersulit dan dibatasi; pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Kemudian, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas; kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Suara lantang juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan UU KPK yang telah disepakati DPR RI dan akan menjadi inisiatif RUU DPR RI.
Menurut Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, ICW mengkritik keras revisi UU KPK karena berpotensi melemahkan KPK. Di antaranya soal Dewan Pengawas KPK, yang dinilai akan mengintervensi KPK. Selebihnya, serupa dengan yang diutarakan Agus Rahardjo.
"Dapat dipastikan jika pembahasan ini tetap dilanjutkan untuk kemudian disahkan maka pemberantasan korupsi akan terganggu dan eksistensi KPK akan semakin dilemahkan," katanya.
Ketua WP KPK, Yudi Purnomo menyebut usulan UU KPK yang telah disepakati DPR merupakan lonceng kematian bagi lembaga antirasuah. Ia menilai tidak ada masalah krusial di KPK yang mendasari perlunya revisi UU KPK.
KPK justru sedang gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dalam kurun waktu belakangan ini. Mereka pun turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK.
"(Revisi UU KPK) ini merupakan lonceng kematian bagi KPK sekaligus memupus harapan rakyat akan masa depan pemberantasan korupsi," kata Yudi.
Suara menolak revisi UU KPK juga dilontarkan mantan Ketua KPK Abraham Samad yang mempertanyakan urgensinya. Ia melihat banyak poin dalam draft revisi UU KPK yang melemahkan KPK.
"Ternyata setelah kita lihat dan telusuri draf revisi ternyata banyak dari poin-poin itu yang justru tidak menguatkan posisi KPK saat ini, tapi justru ada pelemahan-pelemahan," kata Samad.
Bola Panas Revisi UU KPK Ada di Jokowi
Revisi UU KPK masih menunggu surat presiden (Surpres). Sementara tanpa adanya surat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), pembahasan revisi UU KPK tidak bisa dilakukan DPR RI.
Berbagai pihak pun ada yang mendorong agar Jokowi segera mengirimkan surpres, namun tak sedikit pula yang meminta Jokowi untuk menolak agar tidak mengirim surpres terkait persetujuan revisi UU KPK.
Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, keputusan ada di tangan Jokowi. Namun, diharapkan Jokowi tidak sejalan dengan DPR yang ingin merevisi UU KPK.
"Bola panas ada di Presiden Jokowi. Kita harap dia tidak mendukung revisi UU KPK karena banyak dukungan publik juga supaya tidak direvisi," ujar Kurnia, Sabtu 7 September 2019.
Ketua KPK Agus Rahardjo bahkan hingga berkirim surat ke Jokowi agar menimbang lebih matang serta mengajak diskusi untuk mengambil keputusan terkait revisi UU KPK. Kendati, ia tetap berharap agar Jokowi tidak mengirimkan surpres.
"Mohon Presiden tidak mengirimkan Surpres," pinta Agus.
Sementara Jokowi mengaku belum membaca poin-poin dalam revisi UU KPK sehingga belum bisa memberikan pernyataan lebih lanjut. Namun, pihaknya berharap DPR memiliki semangat yang sama untuk memperkuat KPK.
"Yang jelas saya harapkan DPR punya semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Jokowi.
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly telah menerima draf revisi UU KPK dan tengah dipelajari. "Kan saya diberikan draf Revisi UU KPK untuk saya pelajari. Itu aja dulu. Kita akan pelajari dulu kita lihat nanti seperti apa," kata Yasonna, Senin 9 September 2019.
(Arief Setyadi )