JAKARTA - Penyusunan omnibus law dinilai bisa menuai polemik lantaran RUU Cipta Lapangan Kerja yang tengah disusun melarang adanya Peraturan Daerah (Perda) syariah.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudri Sitompul mengingatkan agar omnibus law tak hanya mementingkan aspek legalitas yuridis namun juga aspek filosofis dan sosiologis. Pasalnya, omnibus law bukan amandemen undang-undang (UU), melainkan mencabut beberapa pasal dalam UU.
Baca Juga: Pimpinan DPR: Draf Omnibus Law Paling Lambat Diterima Pekan Depan
"Misalnya UU mengenai pemda dicabut yang mengatur syariah. Tapi UU Pemdanya tidak diubah, kan tetap berlaku. Rancangan perundang-undangan itu kait mengkait, kalau dicabut cuma satu atau beberapa pasal sehingga pertama untuk publik, mahasiswa hukum yang baru belajar hukum itu akan kesulitan karena dia akan melihat UU baru yang berlaku," kata Chudri kepada Okezone, Rabu (22/1/2020).
Chudri menilai, omnibus law juga dapat membuat kegaduhan bagi masyarakat awam, hingga para mahasiswa hukum yang baru belajar persoalan hukum. Menurut dia, bila pemerintah tidak melakukan sosialisasi secara maksimal maka publik akan kesulitan menerima hasil dari produk hukum omnibus law itu.
"MisalnyaUU Pemda yang di dalam sekian ratus pasal itu, ada satu atau dua pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh omnibus law, jadi itu sebenarnya kesulitan dipublik dan mahasiswa hukum yang baru belajar.
Tapi yang saya mau katakan, jangan karena satu pasal dicabut, sebenarnya pasal itu berkait dengan pasal-pasal yang lain," ujarnya.
Baca Juga: Susun Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Ma'ruf Amin: Pemerintah Akan Dengar Aspirasi Semua Pihak
Ia pun mengingatkan agar Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham bisa menyempurnakan desain omnibus law agar tak ada pasal yang menjadi polemik di masyarakat.
"Maksud saya, jangan satu pasal di dalam satu UU dicabut tapi pasal di UU yang lain masih berlaku. Jangan sampai terjadi keadaan seperti itu," tandasnya.
(Fiddy Anggriawan )