JAKARTA - Virus Korona yang telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia memang membuat banyak pihak waspada. Virus yang bermula dari sebuah pasar di kawasan Wuhan, China, telah merenggut nyawa 56 orang dan ribuan lainnya terinfeksi.
Wabah virus baru yang terkait dengan pasar satwa liar di China ini, mendorong seruan baru untuk penegakan hukum terhadap perdagangan dan konsumsi spesies eksotis, seperti kelelawar dan ular.
Persebaran ini pun menimbulkan pertanyaan, pasalnya wabah SARS atau Sindrom Pernafasan Akut Parah pada tahun 2002-2003, juga terjadi lantaran adanya konsumsi hewan liar di selatan kota Guangzhou.
Permintaan akan binatang liar di Asia, terutama China, selain mempercepat kepunahan banyak spesies, juga menimbulkan ancaman kesehatan abadi yang gagal diatasi oleh pihak berwenang meskipun ada risiko pandemi global yang semakin meningkat.

Menanggapi krisis yang berpusat di kota industri besar Wuhan, Kementerian Pertanian China pada awal pekan ini mengeluarkan perintah untuk memperketat kontrol pada perdagangan satwa liar.
Sekelompok peneliti terkemuka dari Akademi Ilmu Pengetahuan China, Institut Virologi Wuhan dan universitas-universitas top bangsa menyerukan pemerintah di China untuk menindak pasar-pasar satwa liar seperti yang ada di pusat wabah Wuhan.
Perdagangan ilegal berkembang di "celah" perdagangan satwa liar legal di China, dan meningkatkan kemungkinan wabah. Kelompok itu pun menulis surat terbuka yang diposting di Weibo, sebuah jejaring sosial milik China, demikian seperti dilansir dari Independent, Minggu (26/1/2020).
Sementara itu, Lembaga Konservasi Margasatwa yang bermarkas di New York, menyerukan pelarangan pasar satwa liar di mana-mana, tidak hanya di China.
Penyakit zoonosis, atau yang ditularkan oleh manusia yang berasal dari spesies lain, menyebabkan sebagian besar penyakit menular manusia. Memang, tidak semua dari mereka berasal dari perdagangan satwa liar, seperti rabies endemik di banyak spesies dan salah satu penyebab kematian terbesar di negara berkembang.