PERISTIWA penembakan yang mengakibatkan tewasnya 6 (enam) orang pengikut Rizieq Shihab beberapa hari lalu telah menyebabkan ramainya kembali perbincangan tentang Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia, apalagi peristiwanya terjadi pada tanggal 7 Desember 2020 berdekatan dengan peringatan hari Hak Azasi Manusia sedunia setiap tanggal 10 Desember. Bahkan pada tanggal 14 Desember 2020, Kapolda Metro Jaya sampai harus hadir memenuhi undangan Komnas HAM untuk memberikan keterangan sesuai permintaan mereka.
Sementara di sisi lain pemeriksaan dan penahanan terhadap pimpinan FPI Rizieq Shihab berjalan terus, meskipun ada demonstrasi di beberapa daerah, salah satunya di Ciamis, Jawa Barat.
Sesungguhnya, ramainya kembali perdebatan tentang HAM di Indonesia sebagai negara hukum yang bersistemkan demokrasi seperti ini adalah sesuatu yang sangat wajar. Hanya di Negara hukum dan negara demokratislah HAM itu dihormati dan ditegakkan, seperti halnya di Negara yang sering mendengung-dengungkan HAM seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa Barat, perbincangan dan perdebatan soal HAM pun tidak pernah berhenti.
Semua orang yang pernah mempelajari HAM tentunya sudah paham bahwa sebenarnya HAM merupakan isu yang sudah dibahas di muka bumi ini sejak lama, yang tidak akan pernah selesai untuk diperdebatkan terus sepanjang peradaban manusia masih ada.
Dahulu kala ketika awal-awal Negara dibentuk hanya untuk tujuan menjaga keamanan dan keselamatan warga negaranya, maka isu HAM pun digunakan untuk melindungi Hak-hak Azasi manusia berdasarkan Hukum Alam (Natural Law), yaitu Hak Kehidupan (Life) kemudian berkembang pada Hak Kebebasan (Liberty) dan Hak Mendapatkan Kebahagiaan (Pursuit of Happiness) atau yang dimaterikan menjadi Hak Kepemilikan (Property). Pemikiran-pemikiran Filsuf Yunani hingga Thomas Aquinas sampai pada John Locke dan tokoh-tokoh pemikir kenegaraan terkemuka lain-lainnya mewarnai Eropa Barat yang awalnya sangat mengagungkan ajaran Laissez Faire (Negara tidak perlu ikut campur urusan pribadi warga negaranya). Pada era ini terjadi pemisahan yang tegas antara “rakyat sipil” (civil society) dan “Negara” (state), dimana HAM pada saat itu merupakan Hak Sipil / Hak Politik warga Negara yang harus dijaga oleh Negara dan tidak boleh diintervensi apalagi dirampas oleh negara.
Dengan kondisi semacam ini maka hukum-hukum di Eropa pun dibentuk menyesuaikan dengan the way of life dari bangsa Eropa tersebut. Awalnya hukum pun dibuat menjadi alat resiprokal, yaitu bila ada yang “Menghilangkan Kehidupan” (Membunuh) maka hukumnnya adalah “Hukuman Mati”(Dibunuh). Bila ada orang yang “Merampas Kebebasan Orang Lain”, maka hukumannya juga “Kebebasan Perampas itu Harus Dikekang” (Dipenjara). Demikian juga bila orang “Merampas Kekayaan Orang Lain” maka “Kekayaannya Harus Dirampas” (Didenda / Bayar Ganti Rugi).
Sungguhpun demikian era yang disebut era keemasan / era pencerahan dengan lahirnya gagasan-gagasan luar biasa tentang Hak Azasi Manusia ini, namun dunia saat itu tetap saja diwarnai dengan perang, penindasan, penjajahan / kolonialisme bangsa Eropa terhadap bangsa lain, bahkan juga diwarnai perbedaan perlakuan sesuai kelas-kelas sosial di dalam masyarakat Eropa sendiri, sehingga HAM dalam gagasan pun tidak seindah HAM dalam kenyataan.