Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Jaksa Cecar Eks Kadiv Humas Polri Setyo Wasisto soal Informasi Red Notice Djoko Tjandra

Arie Dwi Satrio , Jurnalis-Senin, 18 Januari 2021 |19:11 WIB
Jaksa Cecar Eks Kadiv Humas Polri Setyo Wasisto soal Informasi <i>Red Notice</i> Djoko Tjandra
Sidang Djoko Tjandra. (Foto: Okezone.com/Arie Dwi)
A
A
A

JAKARTA - Jaksa penuntut umum menghadirkan mantan Kadiv Humas Polri, Komjen (Purn) Setyo Wasisto sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap terkait pengurusan penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari daftar red notice Polri. Setyo Wasisto bersaksi untuk terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte.

Dalam persidangan, Jaksa menggali pengetahuan Setyo Wasisto saat menjabat mantan Sekretaris NCB Interpol Polri. Setyo Wasisto dicecar oleh Jaksa ihwal prosedur untuk mendapatkan informasi terkait red notice.

Dalam hal ini, Jaksa menyinggung soal istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran yang bersurat ke NCB Interpol Indonesia, Divhubinter Polri, untuk meminta informasi terkait red notice suaminya.

"Kalau masyarakat minta informasi terkait red notice apa dibolehkan? Atau dalam kasus ini saya spesifik lagi Istri Djoko Tjandra minta informasi red notice suaminya? Apa itu dibolehkan?" tanya seorang jaksa kepada Setyo di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (18/1/2021).

Menurut Setyo, setiap orang berhak memperoleh informasi terkait red notice keluarganya. Pun demikian dengan Anna yang ingin mendapat informasi red notice Djoko Tjandra. Namun, kata Setyo, itu hanya untuk kepentingan sebatas informasi saja.

"Menurut saya, kalau hanya untuk mengetahui apakah red notive masih ada atau tidak, dan itu disebutkan Sekretariat NCB Interpol Indonesia, saya kira itu bisa dibenarkan, tetapi itu hanya untuk mengetahui bahwa itu masih masuk daftar atau tidak," jelas Setyo. 

Jaksa kembali mengonfirmasi Setyo soal Petunjuk Pelaksanaan (Jutlak) Nomor 26 Tahun 1992 tentang tata cara penerbitan interpol red notice. "Ada Jutlak Nomor 26 Tahun 1992 tentang tata cara penerbitan interpol red notice, apakah bisa masyarakat umum akses red notice?" tanya Jaksa. 

Setyo menjelaskan, Jutlak Polri tersebut hanya mengatur penerbitan red notice bukan mengatur penerima informasi. Di mana, penerbitan red notice itu hanya bisa diusulkan oleh aparat penegak hukum, masyarakat biasa tidak bisa mengajukan usulan red notice.  

Baca juga: Hakim Selisik Kedekatan Pinangki dengan 'Bos Kejaksaan'

"Perkapolri adalah mengatur penerbitan red notice. Red notice itu diajukan oleh APH (aparat penegak hukum) yang menegakkan kasusnya,  kemudian digelar perkarakan, dicek sesuai ketentuan bahwa yang boleh ajukan red notice itu ada acuan-acuannya, misalnya tidak boleh terkait militer, terkait agama dan sebagainya. Tetapi, kalau masalah orang per orang yang ajukan saya kira tidak bisa. Aturannya tidak ada," jelas Setyo. 

Sekadar informasi, Irjen Napoleon Bonaparte merupakan terdakwa dalam perkara ini. Irjen Napoleon didakwa oleh jaksa penutut umum telah menerima uang sebesar 200.000 dolar Singapura dan 270.000 dolar AS atau senilai Rp6 miliar dari Djoko Tjandra. 

Uang itu diduga sebagai upaya untuk menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen imigrasi). Untuk melancarkan aksinya, Djoko Tjandra dibantu oleh rekannya, Tommy Sumardi.

Irjen Napoleon diduga melakukan upaya penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dari DPO bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri. 

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement