Diwawancarai secara terpisah pakar ASEAN, Dr. Dinna Wisnu, menyoroti prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota.
Menurut Dinna, prinsip itu sering sekali disalahartikan dengan tidak berbuat apa-apa dan lembek pada pelanggar ketentuan-ketentuan ASEAN, padahal ada beragam mekanisme untuk menjamin kerahasiaan perundingan antar negara anggota.
“Adalah suatu hal yang sangat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan momentum ini untuk mengajak ASEAN, mengingat identitas bersama itu pernah mendorong sesama negara anggota untuk saling mendengar dan bukannya saling menutup telinga,” paparnya
“Semua statement pasti ada konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Yang penting adalah intensinya dan follow up-nya,” ujar Dinna,mantan utusan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights.
Polisi duduk di dalam truk-truk yang terparkir di sebuah jalan di pusat Kota Yangon, Myanmar, Senin, 1 Februari 2021.
Polisi duduk di dalam truk-truk yang terparkir di sebuah jalan di pusat Kota Yangon, Myanmar, Senin, 1 Februari 2021.
Melihat komposisi kepemimpinan dan kepentingan masing-masing negara anggota ASEAN, Dinna Wishu menilai akan sulit tercapai karena akan membutuhkan waktu untuk mencapai konsesus. Oleh karena itu, tak heran jika negara anggota memilih menyikapinya secara terpisah.
Ia memuji pernyataan awal Kementerian Luar Negeri yang meminta semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan dialog.
“Myanmar itu masih mau mendengar Indonesia, tetapi kalau cara penyampaiannya seakan 'public relations campaign' untuk kepentingan sesaat, sudah pasti akan ditolak,” paparnya.
Di sini lah, imbuh Dinna, dibutuhkan komitmen Kepala Negara Indonesia untuk menjembatani upaya diplomasi di tataran prosedural dan teknis untuk berkembang.
“Ada sejumlah cara diplomatis untuk membuat pernyataan dan diterima secara positif,” katanya.
Bukan pertama kalinya ASEAN dikritik karena isu terkait Myanmar. Sebelumnya beberapa kelompok HAM juga mengecam blok negara di Asia Tenggara itu karena tidak menyikapi aksi kekerasan militer Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim-Rohingya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bahkan Amerika menggambarkan tindakan militer Myanmar itu sebagai “contoh langsung pemusnahan etnis.”
(Susi Susanti)