Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Warga Uighur yang Dikirim Kerja ke Luar Xinjiang, China

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 04 Maret 2021 |07:38 WIB
Kisah Warga Uighur yang Dikirim Kerja ke Luar Xinjiang, China
Kisah warga Uighur yang bekerja di Xinjiang (Foto: BBC)
A
A
A

Para pejabat China di video itu lalu berbicara secara langsung dengan Buzaynap yang berusia 19 tahun. Mereka berkata, jika Buzaynap memilih tetap tinggal, dia akan segera menikah dan tidak akan pernah memiliki peluang untuk bekerja ke luar daerah.

"Coba pikirkan, maukah kamu pergi?" mereka bertanya.

Di bawah pengawasan ketat para pejabat pemerintah dan jurnalis televisi milik China, perempuan itu menggelengkan kepala dan menjawab, "Saya tidak akan pergi."

Meski begitu, tekanan terus berlanjut hingga akhirnya menangis.

"Aku akan pergi jika yang lain pergi," kata Buzaynap.

Video tadi diakhiri dengan perpisahan penuh air mata antara seorang ibu dan anak perempuan.

Buzaynap dan warga desa lainnya yang "dimobilisasi" meninggalkan keluarga dan budaya mereka.

Profesor Laura Murphy adalah seorang ahli hak asasi manusia dan isu perbudakan kontemporer di Sheffield Hallam University, Inggris. Dia tinggal di Xinjiang antara tahun 2004 dan 2005 dan beberapa kali kembali berkunjung sejak saat itu.

"Video ini luar biasa," kata Murphy kepada BBC.

"Pemerintah China terus-menerus mengatakan bahwa orang-orang secara sukarela terlibat dalam program-program ini,” terangnya.

"Namun video ini benar-benar mengungkap bahwa ini adalah sistem pemaksaan yang tidak boleh dilawan," ujar Murphy.

"Hal lain yang ditunjukkan dalam video tersebut adalah motif tersembunyi ini, bahwa meski narasinya mengeluarkan orang dari kemiskinan, ada dorongan untuk sepenuhnya mengubah kehidupan seseorang, untuk memisahkan keluarga, mencerai-beraikanpopulasi, mengubah bahasa, budaya, struktur keluarga, yang mungkin akan lebih meningkatkan kemiskinan daripada menguranginya," kata Murphy.

Perubahan mencolok kebijakan China terhadap Xinjiang dapat ditelusuri sejak kedua serangan brutal terhadap pejalan kaki dan pengguna kereta di Beijing tahun 2013 dan Kunming pada 2014.

Pemerintah China menuduh kelompok Islamis dan separatis Uighur sebagai dalang serangan itu.

Inti respons China terkait serangan itu adalah mengganti "loyalitas lama" Uighur terhadap budaya dan Islam dengan "identitas materialis modern" dan kesetiaan kepada Partai Komunis.

Tujuan itu hendak dicapai lewat kamp "pendidikan ulang" dan pengiriman warga minoritas untuk bekerja di daerah lain.

Tujuan utama program itu adalah mengasimilasi masyarakat Uighur ke budaya Etnis Han yang merupakan mayoritas di China.

Tujuan itu dijelaskan dalam studi mendalam tentang skema transfer pekerja Xinjiang. Hasil kajian itu diedarkan ke pejabat senior China dan dilihat oleh BBC.

Kajian mendalam itu didasarkan pada riset lapangan yang dilakukan di wilayah Hotan, Xinjiang, Mei 2018. Kajian itu secara tidak sengaja dipublikasikan secara online, Desember 2019, lalu dihapus beberapa bulan setelahnya.

Kajian ini dikerjakan sekelompok akademisi dari Nankai University di Tianjin, China. Kajian itu menyimpulkan bahwa transfer massal tenaga kerja merupakan metode penting untuk mempengaruhi, menyatukan, dan mengasimilasi minoritas Uighur", sekaligus "transformasi pemikiran mereka".

Mencabut warga minoritas dan memindahkan mereka ke tempat lain lainnya, menurut kajian itu, akan mengurangi kepadatan populasi Uighur.

Kajian itu ditemukan secara online oleh peneliti isu Uighur yang berbasis di luar China. Dokumen itu diarsipkan sebelum pihak universitas akhirnya menyadari kesalahan mereka.

Adrian Zenz, peneliti senior di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, menganalisis kajian tadi, termasuk terjemahannya dalam bahasa Inggris.

"Ini adalah sumber otoritatif yang belum pernah muncul sebelumnya, yang ditulis beberapa akademisi terkemuka dan mantan pejabat pemerintah dengan akses tinggi ke Xinjiang itu sendiri," kata Zenz kepada BBC.

"Jumlah populasi yang sangat berlebihan, yang entah bagaimana harus ditangani serta pengiriman tenaga kerja sebagai cara mengurangi etnis minoritas yang bekerja di kampung halaman mereka, menurut saya, adalah pengakuan yang paling mencengangkan dari kajian ini," kata Zenz.

Analisis Zenz mencakup pendapat hukum dari Erin Farrell Rosenberg, mantan penasihat senior Museum Peringatan Holocaust AS.

Mengutip Rosenberg, Zenz menulis bahwa kajian Universitas Nankai memberikan "bukti kredibel" tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa pemindahan paksa dan penganiayaan.

Dalam pernyataan tertulis, Kementerian Luar Negeri China menyebut, "Kajian itu hanya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan mayoritas isinya tidak sejalan dengan fakta."

"Kami berharap wartawan akan menggunakan informasi otoritatif yang dirilis oleh pemerintah China sebagai dasar untuk memberitakan Xinjiang,” urainya.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement