Menurut Darshini, ada aspek historis dari situasi tersebut, yakni ketidakpercayaan komunitas transgender terhadap institusi, terutama rumah sakit, yang menambah keraguan mereka terhadap pentingnya vaksin.
“Banyak di antara mereka memperoleh informasi yang keliru tentang apa yang terjadi setelah divaksinasi. Mereka butuh penyuluhan tentang pentingnya vaksinasi, ” kata Darshini.
“Kurangnya kesadaran dan buta huruf adalah keprihatinan terbesar kami. Kami adalah komunitas yang terpinggirkan, pandemi hanya menambah tekanan mental yang sudah ada."
Upaya vaksinasi Covid-19 India telah banyak dikritik karena menciptakan kesenjangan digital. Seseorang dapat mendaftarkan diri untuk divaksinasi melalui aplikasi atau situs web yang dinamakan CoWin. Cara yang membutuhkan akses internet atau ponsel pintar ini umumnya sulit dijangkau komunitas transgender.
“Komunitas kami tidak tahu bagaimana melakukan pendaftaran online,” kata Manpreet, manajer proyek di Pehel.
“Mereka tidak tahu ke mana harus pergi, apa yang harus dilakukan. Sangat sedikit orang dari komunitas transgender yang memiliki ponsel pintar, jadi itu adalah masalah besar lainnya,” terangnya.
Yang juga ikut menyulitkan adalah kebutuhan akan bukti KTP seperti kartu Aadhaar atau SIM. Kartu Aadhaar adalah kartu nomor identifikasi 12 digit yang dikeluarkan pemerintah India. Nomor tersebut berfungsi sebagai bukti identitas dan alamat, di mana pun di India.
“Kebanyakan transgender tidak memiliki dokumen resmi. Kami juga tidak bisa memberi mereka jatah karena mereka tidak punya KTP yang benar,” ujarnya.
Ramkali, seorang pekerja di Basera Samajik Sansthan, sebuah organisasi komunitas yang berfokus pada pekerjaan sosial di Noida, juga meyakini ketiadaan kartu identitas menghambat upaya vaksinasi komunitas transgender.
“Beberapa anggota komunitas transgender mendaftarkan diri sebagai laki-laki atau perempuan di KTP mereka. Sangat sedikit orang yang benar-benar memiliki KTP yang jelas-jelas menunjukkan mereka transgender, yang dalam hal ini ditunjukkan dengan pilihan jenis kelamin ‘lainnya’,” katanya.
"Ini bisa menjadi alasan lain mengapa angka vaksinasi transgender tampak rendah,” ungkapnya.
Tidak adanya pusat vaksinasi bagi mereka yang tinggal di daerah rawan menjadi keprihatinan lain.
“Kebanyakan transgender merasa tidak nyaman berada di tempat umum. Pusat-pusat vaksinasi seharusnya menawarkan suasana yang aman dan ramah terhadap transgender,” terang Neel Sengupta, seorang peneliti di Pusat Studi Gender dan Seksualitas Universitas Ashoka.
"Pemerintah harus bermitra dengan organisasi nirlaba yang bekerja di daerah-daerah rentan untuk memastikan dorongan vaksinasi tersebar luas di masyarakat,” lanjutnya.
Sejauh ini baru pemerintah negara bagian Assam yang secara resmi mengumumkan pengadaan pusat-pusat vaksinasi khusus bagi komunitas transgender.
(Susi Susanti)